Jakarta (ANTARA News) - Situasi politik dan keamanan di Papua hingga kini masih  memanas. Diawali dengan aksi penembakan yang terjadi berulang kali terhadap karyawan PT Freeport dan unjuk rasa oleh karyawan yang menuntut kesejahteraan.

Kejadian berlanjut dengan aksi penembakan yang menimpa Kapolsek Kota Mulia, Ajun Komisaris Dominggus Otto Awes. Kemudian penembakan pos Brimob dan berbagai gejolak lainnya. Hingga saat ini, belum satu pun pelaku pembunuhan yang terungkap identitasnya dengan jelas dan gamblang.
Gejolak Papua (Freeport) bukan kali ini saja terjadi. Selama 44 tahun aktivitas pertambangan PT Freeport Indonesia di Papua telah menorehkan catatan buruk bagi penghormatan hak asasi manusia (HAM) Indonesia di mata internasional. Kerusakan lingkungan, kemiskinan masyarakat lokal, perampokan hak ulayat, kekerasan, dan pembunuhan yang berulang terjadi terhadap manusia Papua di sekitar Freeport telah menjadi keprihatinan komunitas nasional, bahkan internasional.    

Namun, sejauh ini belum ada solusi administratif, sistematis, dan holistik yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang telah berlarut-larut. Bila kita jujur, sesungguhnya akar permasalahan carut-marut Freeport ada pada Kontrak Karya PT Freeport itu sendiri. Wajah kebijakan pertambangan yang rapuh hingga sistem administrasi yang korup.

Kontrak karya, berpihak siapa? Sejauh ini, PT Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (1967 s.d. 1988) dan tambang Grasberg (1988-sekarang), di kawasan Tembagapura, Kabupaten Mimika.

Pada tanggal 5 April 1967, Kontrak Karya (KK) I antara pemerintah Indonesia dan Freeport Sulphur Company, melalui anak perusahannya PT Freeport Indonesia Incorporated (Freeport) ditandatangani. Peristiwa ini menjadi penandatanganan KK Generasi I di Indonesia. Tak hanya itu, KK ini juga menjadi dasar penyusunan Undang-Undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 yang disahkan pada bulan Desember 1967, atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK.

Lahan ekplorasi yang diserahkan pemerintah kepada Freeport mencakup areal seluas 10.908 hektare untuk lama kontrak 30 tahun, terhitung sejak kegiatan komersial pertama dilakukan. Pada bulan Desember 1972, pengapalan 10.000 ton tembaga dari tambang Ertsberg dilakukan untuk kali pertamanya ke Jepang.

Kontrak Karya I mengandung banyak kelemahan mendasar dan sangat merugikan pihak Indonesia. Dalam operasi pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang proposional dengan potensi ekonomi yang sangat besar di wilayah pertambangan tersebut. Akibat belum adanya ketentuan tentang lingkungan hidup saat itu, sejak dari awal Freeport telah membuang tailing ke Sungai Ajkwa sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Perpajakan yang berlaku, misalnya, Freeport tidak wajib membayar PBB atau PPN. Tidak ada kewajiban bagi Freeport untuk melakukan community development. Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak memberi dampak positif secara langsung terhadap masyarakat setempat.

Freeport juga memperoleh kelonggaran fiskal antara lain, tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai produksi. Untuk tahun berikutnya selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak sebesar 35%. Setelah itu, pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 41,75%.

Kita tidak mempunyai data yang akurat tentang berapa besar produk tambang yang sudah dihasilkan dari tambang Ertsberg. Dalam perencanaan dan kesepakatan awal, tampaknya disetujui bahwa wilayah tambang ini hanya akan memproduksi tembaga, dan ini yang menjadi dasar mengapa pada awalnya lokasi pertambangan dinamakan Tembagapura.

Di samping tembaga, tambang Ertsberg ternyata juga menghasilkan emas. Emas, yang semula dinilai hanyalah by product, belakangan menjadi produk utama Freeport. Hal ini konon disebabkan semakin tingginya konsentrat emas dan perak dalam bahan galian dan dalam deposit yang ditemukan.

Kita tidak terlalu yakin tentang klaim emas adalah by product ini, karena pada saat itu tidak ada orang Indonesia yang mengikuti proses pemurnian konsentrat. Apalagi, pada periode awal penambangan, pemurnian konsentrat dilakukan di luar negeri, baik di Jepang maupun di Amerika. Di samping itu, Freeport pun belum menjadi perusahaan terbuka yang harus menjalankan prinsip good corporate governance. Dengan demikian, bisa saja sejak awal sebenarnya Freeport telah menghasilkan emas dan atau bahkan perak, tetapi hal ini tidak dideklarasikan, atau disengaja disembunyikan dari pemerintah.

Pada tahun 1995, Freeport baru secara resmi mengakui menambang emas di Papua setelah (1973-1994) mengaku hanya sebagai penambang tembaga. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri.

Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport, hingga Kontrak Karya I diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak direnegosiasi secara optimal. Indonesia ternyata tidak mendapatkan manfaat sebanding dengan keuntungan besar yang diraih Freeport. Ketentuan-ketentuan fiskal dan finansial yang dikenai kepada Freeport ternyata jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan yang berlaku negara-negara Asia dan Amerika Latin.

Perpanjangan Kontrak Karya II seharusnya memberi manfaat yang lebih besar karena telah ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg. Kontrak telah diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997.

Kontrak Karya II ini tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan keuntungan finansial tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia. Perubahan yang terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham dan dalam hal perpajakan. Sementara itu, besarnya royalti tidak mengalami perubahan sama sekali, meskipun telah terjadi perubahan jumlah cadangan emas. Penemuan emas di Grasberg merupakan cadangan emas terbesar di dunia.

Dalam Kontrak Karya II, ketentuan menyangkut royalti atau iuran eksploitasi/produksi (Pasal 13), menjelaskan bahwa sistem royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas persentase dari penerimaan penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari persentase penjualan bersih. Penjualan bersih adalah penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya peleburan (smelting), biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan Freeport dalam penjualan konsentrat. Persentase royalti yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih juga tergolong sangat kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia (emas dan perak).

Di dalam kontrak Freeport, besaran iuran tetap untuk wilayah pertambangan yang dibayarkan berkisar antara US$ 0,025-0,05 per hektar per tahun untuk kegiatan Penyelidikan Umum (General Survey), US$ 0,1-0,35 per hektare per tahun untuk kegiatan Studi Kelayakan dan Konstruksi, dan US$ 1,5-3 per hektare per tahun untuk kegiatan operasi eksplotasi/produksi. Tarif iuran tersebut, di seluruh tahapan kegiatan, dapat dikatakan sangat kecil, bahkan sangat sulit diterima akal sehat. Dengan kurs 1 US$ = Rp9.000,00 maka besar iuran Rp225,00 hingga Rp27.000,00 per hektare per tahun.

Menyangkut pengawasan atas kandungan mineral yang dihasilkan, dalam kontrak Freeport tidak ada satu pun yang menyebut secara eksplisit bahwa seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan peleburan harus seluruhnya dilakukan di Indonesia dan dalam pengawasan Pemerintah Indonesia. Pasal 10, poin 4 dan poin 5, memang mengatur tentang operasi dan fasilitas peleburan dan pemurnian tersebut yang secara implisit ditekankan perlunya untuk dilakukan di wilayah Indonesia. Namun, tidak secara tegas dan eksplisit bahwa hal tersebut seluruhnya (100%) harus dilakukan atau berada di Indonesia. Hingga saat ini, hanya 29% saja dari produksi konsentrat yang dimurnikan dan diolah di dalam negeri. Sisanya (71%) dikirim ke luar negeri, di luar pengawasan langsung dari pemerintah Indonesia.

Di dalam Kontrak Freeport, tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur bahwa pemerintah Indoensia dapat sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport. Pun, jika Freeport dinilai melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kontrak. Sebaliknya, pihak Freeport dapat sewaktu-waktu mengakhiri kontrak tersebut jika mereka menilai pengusahaan pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.

Melalui KK II, wilayah penambangan Freeport saat ini mencakup wilayah seluas 2,6 juta hektare atau sama dengan 6,2% dari luas Irian Jaya. Bandingkan dengan pada awal beroperasinya Freeport yang hanya mendapatkan wilayah konsesi seluas 10.908 hektare.

Indonesia sewajarnya mendapat manfaat yang proposional dari tambang yang dimiliki. Hal ini bisa dicapai jika KK yang ditandatangani antara lain berisi ketentuan-ketentuan yang adil, transparan, dan memihak kepentingan negara dan rakyat. Ternyata pemerintah pada masa lalu, hingga saat, ini tidak mampu mengambil manfaat optimal.

Pihak lain yang menikmati

Pada tahun 1981 Freeport Mineral, Inc. melakukan merger dengan McMoran Oil and Gas, Inc. dan membentuk Freeport Mineral, Inc. Aset utamanya adalah potensi besar tembaga, emas, dan perak yang tersimpan di Gunung Ertsberg.

Pada tahun 1987 Freeport McMoran membentuk anak perusahaan bernama Freeport McMoran Copper Company, Inc. dengan menjual 85,4% dari sahamnya pada PT Freeport Indonesia Inc. Setelah ditemukannya Grasberg, yang menyimpan deposit tembaga nomor 3 terbesar dan tambang emas terbesar di dunia, pada 1988 Freeport McMoran Copper Company, Inc (FCX) mendaftarkan diri ke New York Stock Exchange (NYSE).

Saat itu, Freeport menjual 5.000.000 lembar saham (23,4%) melalui Initial Public Offering (IPO) dan memperoleh sebesar US$ 3,31 miliar. Kemudian pada bulan Januari 1991, anak perusahaan tersebut merubah namanya menjadi Freeport McMoran Copper & Gold Company, Inc.

Rakyat Indonesia harus menyadari pelajaran dan kebodohan dari kasus penjualan saham ini. Sumberdaya alam milik negara dan rakyat Indonesia telah dijual dan digadaikan oleh Freeport kepada para investor di pasar modal, di negeri orang. Dari hasil penjualan itu, Freeport memperoleh modal dan peningkatan value perusahaan yang sangat besar. Karena tidak memiliki saham signifikan dan otomatis tidak ikut mengelola perusahaan, keuntungan peningkatan modal dan value ini tidak turut dinikmati oleh bangsa Indonesia. Rakyat hanya menjadi penonton atas kenikmatan yang diperoleh asing dan perilaku penjajahan ini.

Rapuhnya kebijakan pertambangan yang diterapkan pemerintah kembali terlihat dalam KK V Freeport. Meskipun dalam KK V posisi tawar pemerintah sedikit diuntungkan, hal ini dapat dikatakan sebagai hal yang wajar karena Indonesia adalah pemilik sumberd aya alam mineral tambang yang dikelola Freepot.

Beralihnya KK II menjadi KK V mewajibkan Freeport mengalihkan saham ke pihak nasional Indonesia, dengan ketentuan pengalihan sampai dengan 51 persen saham kepada perusahaan/perorangan nasional dalam waktu 20 tahun. Pemerintah Indonesia sebelumnya telah mendapat 8,5 persen dari saham Freeport pada tahun 1976 dan menjadi 10 persen hingga 1998. KK V juga menentukan, lima tahun setelah penandatanganan kontrak Freeport 20 persen sahamnya sudah harus dimiliki oleh pihak nasional Indonesia.

Ketentuan divestasi saham kepada pemerintah secara umum berlaku untuk semua perusahaan yang menandatangani KK Generasi V. Namun, pada saat itu, umumnya perusahaan yang menandatangani KK Generasi V masih berada dalam tahap penyelidikan umum atau eksplorasi, kecuali Freeport yang sudah berada dalam tahap produksi.

Saham Freeport yang harus dialihkan dalam waktu 5 tahun pertama adalah sebesar 10 persen. Karena dalam kurun waktu lima tahun setelah KK ditandatangani Freeport telah merencanakan akan melakukan investasi besar-besaran di Grasberg, pihak perusahaan pertambangan ini berharap bahwa ketentuan divestasi dalam KK Generasi V dapat diperingan, khusus bagi Freeport. Freeport berhasil. pemerintah kemudian mengeluarkan PP Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing yang mengizinkan investasi asing secara penuh (100%). Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan pada tahun 1994, sedangkan KK V dengan Freeport ditandatangani pada bulan Desember 1991, atau 3 tahun sebelum PP No.20 dikeluarkan. Dengan PP No.20 ini pula, kesempatan pemerintah untuk ikut memiliki saham mayoritas di Freeport menjadi hilang.

Lebih lanjut, kita mencatat bagaimana pemerintah telah bertindak merugikan negara dengan sengaja tidak memanfaatkan kesempatan membeli 10% saham, yang merupakan kelanjutan program divestasi 20% saham Freeport. Pemerintah justru memberikan kesempatan itu kepada Grup Bakrie. Ketika itu, Menteri Keuangan hanya menyetujui peningkatan pemilikan saham Indonesia dari 9 persen menjadi 10 persen. Menteri Keuangan dengan sengaja tidak menghendaki saham pemerintah lebih dari 10 persen. Karena itu, kemudian Freeport menjual sahamnya kepada grup Bakrie. Masalah pembelian saham oleh Bakrie Brothers ini mendapat sorotan dari berbagai kalangan, antara lain dari Kejaksaan Agung.

Pemiskinan Papua, pemerintah terkesan ‘buta’

Di sisi lain, pemiskinan terus berlangsung di wilayah Mimika. Kesejahteraan penduduk Papua tak secara otomatis terkerek naik dengan kehadiran Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. Di wilayah operasi Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah Freeport. Selain permasalahan kesenjangan ekonomi, aktivitas pertambangan Freeport juga merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan pelanggaran HAM.

Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan, seperti HIV/AIDS. Tercatat, jumlah tertinggi penderita HIV/AIDS Indonesia berada di Papua. Keberadaan Freeport juga menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat keamanan Indonesia pada masa lalu dan kini. Hingga kini, tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang ditindaklanjuti serius oleh pemerintah bahkan terkesan diabaikan, pemerintah terkesan ‘buta’ .

Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika, lokasi di mana Freeport berada, terdiri atas 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua.

Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada sektor pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50 persen lebih PDRB Papua berasal dari pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumber daya alam tidak terbarukan, termasuk perusahaan migas. Artinya ketergantungan pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah Papua ke depan.

Pada tahun 2005 terlihat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua menempati peringkat ke 3 dari 30 provinsi di Indonesia. Namun, Indeks Pembangunan Manusi (IPM) Papua, yang diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena masalah-masalah kekurangan gizi, berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong kemiskinan tersebut berada di kawasan konsesi pertambangan Freeport.

Hilangnya nurani pemerintah

Freeport telah mendapatkan keuntungan yang melimpah dari sumberdaya mineral di Papua. Keuntungan tersebut telah menjadikan Freeport berubah dari perusahaan gurem, tak dikenal, menjadi perusahaan tambang raksasa di dunia hanya dalam waktu singkat. Namun, patut diduga perubahan menjadi perusahaan raksasa ini diperoleh dengan berbagai penyelewengan, manipulasi, dugaan KKN, tekanan politik dan jauh dari kaidah-kaidah bisnis dan pola hubungan bisnis dan negara yang terpuji dan beradab.

Menghadapi kondisi demikian, seharusnya pemerintah Indonesia bersikap lebih percaya diri menggunakan posisi tawar yang tinggi untuk mendapatkan hasil eksploitasi sumberdaya yang optimal. Indonesia pemilik kekayaan, ‘mereka’ yang datang ke sini untuk mengais rezeki, bukan sebaliknya!

Pemerintah telah kehilangan nurani, yang seharusnya saat ini harus berani mengambil langkah tegas menindak Freeport yang jelas-jelas telah melanggar hukum. Sementara dasar hukum untuk itu sudah tersedia. Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan dan Perpajakan dapat dipergunakan bila memang ada niat baik dari pemerintah untuk menghentikan ulah Freeport ini. Langkah pertama, dengan melakukan audit lingkungan dan audit keuangan terhadap Freeport.

Pemerintah tidak boleh terus membiarkan ketidakadilan ini. Karena itu, langkah berikutnya adalah pemerintah harus percaya diri mengkaji ulang dan mengoreksi kebijakan serta isi KK Freeport. KK dengan Freeport harus diubah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Undang-undang ini memerintahkan agar seluruh KK yang beroperasi di Indonesia sebelum UU ini terbit, harus disesuaikan. Secara spesifik, Pasal 169 butir b pada Bab Peralihan telah mengamanatkan agar isi Kontrak Karya, tanpa terkecuali Kontrak Karya Freeport, agar disesuaikan dengan isi UU tersebut paling lambat satu tahun sejak UU disahkan. Dan ini adalah perintah UU. Karena itu, pemerintah harus percaya diri mengubah isi KK Freeport. Pemerintah yang tidak melaksanakan perintah UU tidak layak dipertahankan.


*Anggota Komisi VII DPR RI


Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2011