Jakarta (ANTARA News) - "Kami memang ikut pameran ini, namun sebelum hadir di sini, kami harus menjalani dahulu tes untuk menguji apakah produk AC kami sudah ramah lingkungan atau belum," kata seorang petugas satu stan yang menampilkan produk pendingin di kawasan Nusa Dua, Kuta, Provinsi Bali.

Pria muda itu bercerita bahwa perusahaan AC ini baru bisa terdaftar sebagai peserta pameran tentang produk yang ramah lingkungan setelah terbukti bahwa alat pendingin itu sudah mampu mengatur pembuangan zat freon.

Pernyataan petugas stan pameran ini cukup menarik perhatian, karena biasanya jika satu perusahaan ingin mengikuti pameran apalagi jika menjadi sponsor terutama sponsor utama maka akan langsung diterima panitia penyelenggara dengan "sangat terbuka".

Sejak 21 hingga 25 November 2011, Kementerian Lingkungan Hidup menjadi tuan rumah sebuah konferensi internasional untuk membahas penggunan bahan atau senyawa kimia seperti CFC serta HCFC yang selama ini digunakan oleh berbagai industri, seperti pabrik AC atau pabrik lemari pendingin atau yang sejenisnya yang ternyata kemudian merusak lapisan ozon serta menganggu pemanasan global.

Pertemuan yng diberi nama gagah dalam Bahasa Inggris "65th Meeting of the Executive Committe of the Montreal Protocol" dan "Joint 9th Meeting of the Conference of Parties to the Vienna Convention" serta"23th Meeting of the Parties to the Montreal Protocol" dihadiri perutusan dari sekitar 126 negara mulai dari Inggris, Bhutan, Srilanka, Republik Rakyat China, Pakistan serta Program PBB untuk Pelestarian Lingkungan atau UNEP dibuka oleh Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya.

Ketika membuka pertemuan ini, Kambuaya mengatakan, adalah penting bagi Indonesia dan juga seharusnya negara-negara lain untuk memilih bahan alternatif dari Hydro-Chloro Fluorocarbons atau HCFC yang lebih ramah lingkungan. Kambuaya yang secara resmi masih menjadi Rektor Universitas Cenderawasih, Jayapura menegaskan bahwa industri Indonesia harus tetap kompetitif terhadap negara-negara saingannya tapi juga ramah lingkungan.

Bahan perusak lapisan ozon yang lainnya adalah chlorofluocarbons. Bagi orang awam, bisa diperkirakan CFC dan HCFC merupakan istilah-istilah teknis yang masih cukup sulit untuk dipahami atau dimengerti. Namun karena senyawa atau bahan kimia ini bisa merusak ozon maka wajib juga mengetahuinya.

Sementara itu, ozon pada dasarnya adalah gas alami di dalam lapisan atmosfer dan fungsi ozon ini adalah menyerap sebagian besar radiasi matahari (UV-B) yang sangat berbahaya bagi makhluk hidup terutama manusia.

Pertanyaan bagi orang awam adalah apakah kaitan antara CFC, HCFC dan ozon dengan kehidupan sehari-hari?

CFC dan HCFC antara lain menghasilkan freon yang keluar dari mesin AC atau lemari es dan kalau freon ini dibuang ke udara secara semaunya, maka akan merusak lapisan ozon sehingga ozon menjadi bolong. Akibatnya sinar matahari bisa langsung sampai di bumi dan kemudian merusak tubuh orang. Penyakit yang ditimbulkannya antara lain penyakit mata yang disebut katarak serta kanker kulit.

Ketika membuka pertemuan yang sangat penting ini, Menteri LH Kambuaya antara lain mengungkapkan bahwa sekalipun pemerintah Indonesia secara resmi sudah melarang penggunaan CFC, dirinya merasa bahwa masih ada penggunan CFC secara liar alias ilegal.

"Masih ada lembaga-lembaga yang melanggar aturan hukum ini," kata Kambuaya yang menjadi menteri sejak pertengahan Oktober 2011 sehingga belum bisa berbicara masalah teknis secara panjang lebar.

Sementara itu, Deputi Menteri LB Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Arief Yuwono mengatakan, sampai akhir 2007 atau awal 2008, pemerintah sudah menghancurkan 8.989 metrik ton CFC. Arief Yuwono yang terus-menerus ikut pertemuan Bali itu mengatakan untuk menangani masih terusnya dipakai senyawa-senyawa kimia ini, maka diperlukan regulasi atau peraturan perundangan serta pendidikan alias pendidikn kepada masyarakat termasuk sektor industri.

Sudah tuntaskah?
Jika Arief dengan nada meyakinkan bahwa tidak kurang dari 8.989 metrik ton CFC sudah dihancurkan atau dengan istilah teknis yang ia gunakan sudah di"phase out", maka pertanyaannya adalah apakah sudah tidak ada sama sekali bahan kimia berbahaya ini di Tanah Air?.

Pertanyaan ini bukanlah merupakan hal yang sangat berlebihan, karena di Tanah Air tercinta ini sudah begitu banyak peraturan di tingkat pusat dan daerah yang dikeluarkan, tapi tetap saja banyak orang yang membandel, baik secara sadar ataupun tidak sadar. Pemda DKI Jakarta, misalnya, sudah mengeluarkan peraturan daerah yang melarang orang untuk merokok di tempat umum, seperti di terminal bus ataupun stasiun kereta api.

Tapi perda itu dianggap angin lalu atau tidak dianggap sehingga sampai detik ini masih banyak orang yang merokok semaunya sendiri.

Pertanyaan ini patut diajukan karena dampak negatif penggunan CFC ataupun HCFC baru bisa dirasakan dalam jangka waktu yang cukup panjang atau lama, misalnya, beberapa tahun kemudian. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Pemda Provinsi DKI Jakarta yang mengirimkan wakilnya ke pertemuan Bali tersebut mengungkapkan data yang cukup mengejutkan bahkan bisa dibilang mengerikan.

Sampai saat ini sekitar 150 gedung masih membuang freon secara "bebas". Kalau di Jakarta saja, masih ada ratusan pemilik gedung yang semaunya membuang freon hasil AC-nya itu ke udara, maka pertanyaan adalah bagaimana kondisi-kondisi di kota besar lainnya, seperti Surabaya, Medan hingga Makassar. Apakah semua pemerintah daerah di republik ini sudah memiliki kesadaran dan aturan hukum yang melarang penggunaan CFC dan HCFC serta pengaturan pembuangan freon .

Seorang pakar kesehatan dari Bali, dokter Laksmi yang juga menjadi pembicara dalam acara penting ini mengungkapkan bahwa penyakit kanker kulit dan juga katarak semakin banyak penderitanya di Tanah Air, antara lain, akibat pembuangan freon semaunya serta masih dipakainya senyawa kimia CFC dan HCFC.

Kalau dokter ini saja sudah memiliki angka serta data yang mencengangkan, maka bagaimana langkah Kementerian Lingkungan Hidup serta jajaran sejenis di semua provinsi, hingga kabupaten dan kota.

Pertemuan ini memang menghasilkan Deklarasi Bali yang resminya disebut "Bali Declaration on transitioning to low global warming potential alternatives to ozon depleting substances" atau "Deklarasi Bali tentang transisi bahan perusak ozon alternatif yang memiliki potensi pemanasan global yang rendah". Deklarasi ini menjembatani semua kepentingan negara pihak dalam upaya penyelamatan lapisan ozon yang seiring dengan langkah mencegah memburuknya perubahan iklim.

Kambuaya mengatakan, pentingnya penyediaan bahan alternatif pengganti bahan perusak ozon yang layak secara ekonomis, teknis, sinergi upaya pemulihan lapisan ozon dan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer serta perlu adanya komitmen yang tinggi serta upaya keras atau sungguh-sungguh oleh masyarakat internasional.

Deklarasi Bali memang disepakati secara internasional. Namun pertanyaannya adalah bagaimana kata-kata yang indah dan bagus ini bisa dilaksanakan secara taat azas atau konsisten oleh Indonesia dan semua negara lainnya. Jangan sampai penderita penyakit kanker kulit, katarak atau penyakit-penyakit lainnya semakin bertambah jumlahnya di seluruh dunia.
(A011)

Pewarta: Arnaz F Firman
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011