(Membuat film) Ini bukan proses yang mudah, banyak film gagal melakukan ini
Jakarta (ANTARA) - Sineas asal Indonesia Mandy Marahimin mengungkapkan tantangan dalam menciptakan film menjadi alat pengubah dunia ialah waktu dan riset.

Ketika sineas ingin membawa perubahan dan dampak positif, dibutuhkan waktu yang panjang dan riset mendalam agar film yang diciptakan tidak hanya menyajikan dialog belaka tapi juga menggambarkan visual yang kuat.

"(Membuat film) Ini bukan proses yang mudah, banyak film gagal melakukan ini karena mereka gak punya waktu untuk mengembangkan cerita, gak punya waktu riset untuk dokumenter menjadi baik sehingga nilai- nilainya jadi tempelan belaka," kata Mandy dalam konferensi pers virtual, Kamis.

Dalam ajang Values 20 atau V20 Indonesia, Mandy berperan sebagai Kurator untuk Pekan Film V20 2022 yang bertujuan menghadirkan film-film dengan tema nilai-nilai kemanusiaan.

Baca juga: Pengamat: Perempuan di dalam dan di balik film semakin beragam

Sebagai seorang kurator Mandy menyebutkan jika ingin memasukkan nilai untuk dipahami dan berdampak bagi banyak orang, ada baiknya seorang pembuat film tidak hanya menunjukkan nilai lewat dialog semata tapi bisa memasukkannya dalam setiap aspek film mulai dari plot, cerita, hingga karakter dalam sebuah film.

"(Sebuah nilai) tidak bisa hanya dibicarakan lewat omongan, karena kalau nilai-nilai itu hanya disampaikan melalui dialog atau disampaikan melalui wawancara saja, maka yang akan sampai kepada penonton adalah otak mereka yang akan dirangsang dan bukan emosi mereka. Dan bukan itu kekuatan film," kata Mandy.

Produser yang dikenal apik menciptakan film dokumenter "Semesta" dan beberapa film kenamaan lainnya seperti "Sobat Ambyar" dan "Ada Apa dengan Cinta? 2" itu mencontohkan salah satu film yang berhasil merebut emosi penonton dan mampu mengubah regulasi menjadi lebih baik.

Ia menyebutkan dokumenter asal Afrika bertajuk "Virunga" yang rilis pada 2014.

Film itu rupanya menyentuh banyak pihak termasuk para pemangku kepentingan di Afrika yang akhirnya mampu mengubah regulasi menciptakan Taman Nasional untuk mempertahankan Gorila Gunung yang terancam punah di kawasan itu.

Baca juga: "Tutuge", film horor yang angkat budaya Bali

"Film itu kan media ya, media yang bercerita secara audio dan visual dan media ini kita buat untuk memahami dunia kita, memahami manusia, dan memahami kenyataan. Bagaimana film bisa melakukan itu? Dengan caranya yang halus, sehingga film itu tidak selalu menyampaikan pesan lewat dialog belaka, karena kalau hanya mengandalkan dialog dan tanpa visualisasinya akan menjadi film yang lemah," kata Mandy.

Adapun dalam V20, Mandy memilih banyak karya sineas asal Indonesia untuk menunjukkan bagaimana nilai kemanusiaan bisa tetap bertumbuh meski memiliki latar cerita yang kental dengan kelokalan namun intinya bisa dipahami secara global.

Beberapa film asal Indonesia yang dipilih untuk tayang di Pekan Film V20 2022 ialah "Maria Ado'e" karya Gleinda Stefany, "End of The Tunnel" karya Garry Christian, "The Flame (Bara)" karya Arfan Sabran,serta "Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara" karya Herwin Novianto.

Sementara dua film pendek lainnya yang ditayangkan berasal dari negara lain yaitu "Story Of A Beginning" karya Balaram J asal India dan "Só Sei Que Foi Assim" karya Giovanna Müzel asal Brazil.

Baca juga: Film Indonesia diharapkan banyak ditonton selama libur lebaran

Baca juga: Restorasi film klasik Indonesia buka wawasan baru untuk generasi muda

Baca juga: Ruang aman & pasar majemuk dinilai masih jadi tantangan industri film

Pewarta: Livia Kristianti
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2022