Melbourne (ANTARA) - Harga minyak menguat pada awal perdagangan Asia pada Jumat, tetapi menuju kerugian mingguan pertama mereka dalam tiga pekan karena kekhawatiran tentang inflasi dan penguncian COVID China yang memperlambat pertumbuhan global melebihi kekhawatiran tentang berkurangnya pasokan bahan bakar dari Rusia.

Minyak mentah berjangka Brent naik 97 sen atau 0,9 persen, menjadi diperdagangkan di 108,42 dolar AS per barel pada pukul 00.80 GMT. Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS terangkat 1,00 dolar AS atau 0,9 persen, menjadi diperdagangkan di 107,13 dolar AS per barel.

Namun, kedua kontrak acuan berada di jalur untuk mencatat penurunan untuk minggu ini, dengan Brent akan turun lebih dari tiga persen dan WTI turun lebih dari dua persen.

Pasar terus didorong dan ditarik oleh prospek larangan Uni Eropa terhadap pasokan minyak Rusia yang melemahkan dan kekhawatiran tentang permintaan yang terhambat oleh pertumbuhan global yang lebih lemah, inflasi, dan pembatasan COVID China.

"Faktor kekhawatiran permintaan telah meningkat sedikit," kata analis komoditas Commonwealth Bank Vivek Dhar.

Inflasi dan kenaikan suku bunga yang agresif telah mendorong dolar AS ke level tertinggi 20 tahun, yang telah membatasi kenaikan harga minyak karena dolar yang kuat membuat minyak lebih mahal bagi pembeli yang memegang mata uang lain.

Namun, para analis terus fokus pada prospek larangan Uni Eropa terhadap minyak Rusia, setelah Moskow memberlakukan sanksi minggu ini pada unit Eropa milik negara Gazprom dan setelah Ukraina menghentikan rute transit gas.

"Minyak mendapat dukungan dari kekhawatiran pasokan karena Rusia mengambil langkah maju untuk mempersenjatai energi," kata Managing Partner SPI Asset Management, Stephen Innes.

Sebuah laporan Badan Energi Internasional pada Kamis (12/5/2022) menyoroti faktor duel di pasar, mengatakan peningkatan produksi minyak di Timur Tengah dan Amerika Serikat dan perlambatan pertumbuhan permintaan "diperkirakan akan menangkis defisit pasokan akut di tengah gangguan pasokan Rusia yang memburuk" .

Badan tersebut mengatakan pihaknya memperkirakan produksi dari Rusia turun hampir 3 juta barel per hari (bph) mulai Juli, atau sekitar tiga kali lebih banyak daripada yang saat ini dipindahkan, jika sanksi untuk perangnya terhadap Ukraina diperluas atau jika mereka menghalangi pembelian lebih lanjut.

Baca juga: Wall St bervariasi, S&P ditutup melemah karena kekhawatiran inflasi
Baca juga: Kekhawatiran pertumbuhan global kirim dolar ke tertinggi baru 20 tahun
Baca juga: Emas anjlok 29 dolar, catat hari terburuk dalam sekitar satu minggu

 

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022