Survei kesenjangan pengobatan di negara Asia Tenggara menggambarkan kesenjangan sebesar 90 persen terjadi di negara ASEAN
Bali (ANTARA) - Pertemuan Menteri Kesehatan ASEAN ke-15 (the 15th ASEAN Health Ministers Meeting/AHMM) menyoroti kesenjangan pengobatan pasien gangguan jiwa yang terjadi di regional ASEAN akibat dampak pandemi COVID-19

"Survei kesenjangan pengobatan di negara Asia Tenggara menggambarkan kesenjangan sebesar 90 persen terjadi di negara ASEAN," kata Direktur Bidang Kesehatan Jiwa Kemenkes RI Vensya Sitohang dalam konferensi pers AHMM di Bali, Jumat.

Ia mengatakan pandemi COVID-19 memberikan dampak gangguan mental pada masyarakat maupun gangguan neorologi. Pandemi telah menghambat pengobatan serta perawatan pada pasien.

Vensya mengatakan survei multinegara besar yang didukung Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menunjukan 35-50 persen hambatan pelayanan pengobatan pasien gangguan jiwa terjadi di negara maju dan 76-85 persen di negara kurang berkembang.

"Umumnya pasien tidak mendapatkan pengobatan dalam 12 bulan," katanya.

Ia mengatakan survei yang dilakukan Persatuan Dokter Kesehatan Jiwa melaporkan masalah gangguan jiwa selama pandemi dipicu oleh multifaktor.

"Kita bisa bayangkan kondisi pandemi mengganggu kondisi jiwa setiap orang. Kita sendiri pun merasakan setiap detik sirine ambulans lewat, mendengar kabar orang terdekat masuk rumah sakit, oksigen habis di setiap gelombang pandemi," katanya.

Hal lain yang juga mempengaruhi kesehatan mental masyarakat selama pandemi adalah pemberitaan di berbagai media massa seputar jumlah kematian maupun pasien terkonfirmasi positif akibat COVID-19.

Situasi itu, kata Vensya, memperparah kondisi psikologi pasien yang sebelumnya telah menyandang gangguan jiwa.

Sejumlah delegasi AHMM juga mengungkap angka prevalensi kesenjangan pengobatan meningkat hingga dua kali lipat dari kondisi sebelum pandemi.

Situasi itu dialami sejumlah kelompok penyandang gangguan jiwa, di antaranya populasi normal tanpa gangguan jiwa, orang yang sudah mengalami gangguan jiwa akibat masalah rumah tangga dan pergaulan.

Kesenjangan pengobatan juga dialami pasien yang mengalami kesulitan mengakses pelayanan kesehatan sehingga penyakitnya semakin berat.

"Kelompok terakhir kita temukan saat gelombang kedua COVID-19 bulan Juli, saat krisis oksigen, sehingga asupan oksigen ke otak kurang dan gangguan jiwa menetap," katanya.

Pada acara yang sama, Psikiater Albert Maramis mengatakan pada lima bulan pertama pandemi COVID-19 muncul laporan satu dari lima orang di Indonesia berpikir untuk mengakhiri hidup yang dialami kelompok usia 15-29 tahun.

"Setahun pandemi, berdasarkan hasil survei berbeda didapatkan dua dari lima orang memikirkan untuk bunuh diri. Sekarang di awal 2022, angkanya sekitar satu dari dua yang berpikir mengakhiri hidup," katanya.

Situasi serupa juga dilaporkan dari otoritas terkait di Thailand. Salah satu penyebabnya adalah masalah kesepian dan kebosanan selama masa karantina. "Mereka tidak bisa kontak dengan orang lain. Masalah lainnya adalah ekonomi," katanya.

Berdasarkan data terakhir 2021, kata Albert, terdapat populasi rentan yakni perempuan, usia muda umur 15-29 tahun dan mereka yang tidak punya dukungan yang tinggal di kawasan urban, termasuk yang terisolasi karena pandemi.

Sejumlah delegasi AHMM di Nusa Dua Bali mendorong peningkatan integrasi kesehatan mental di tingkat perawatan primer dan sekunder.

Salah satunya dengan menempatkan psikiater hingga ke fasilitas pelayanan kesehatan seperti Puskesmas demi menjangkau pengobatan yang lebih luas serta mempercepat upaya pemulihan pasien dengan gangguan jiwa.

Baca juga: Senam Indonesia bakal ditampilkan pada setiap acara formal ASEAN

Baca juga: Indonesia ajak negara ASEAN sigap tangani kedaruratan kesehatan

 

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2022