Kabul (ANTARA News) - Ledakan maut di masjid Afghanistan, yang menewaskan 59 orang pada hari suci Muslim Syiah menimbulkan kekhawatiran bahwa bangsa lelah perang itu menghadapi ledakan kekerasan aliran gaya Irak.

Taliban Afghanistan membantah bertanggung jawab atas ledakan di Kabul dan kota utara, Mazar-i-Sharif, itu dan tokoh terkemuka Syiah di Afghanistan menunjuk kelompok di Pakistan sebagai pelakunya.

Pengulas menyatakan tanggapan pemimpin Syiah menjadi kunci untuk menentukan apakah muncul perpecahan antara Muslim Sunni Afghanistan dengan Syiah, yang berjumlah sekitar 20 persen dari penduduknya, demikian AFP melaporkan.

Tingkat serangan itu belum pernah terjadi di Afghanistan, yang sampai sekarang belum terkena kekerasan aliran, yang menghancurkan Irak setelah serbuan pimpinan Amerika Serikat pada 2003, dalam upaya menciptakan perang saudara.

Afghanistan sudah rapuh dengan kelompok suku berbeda, termasuk Pashtun, Tajik, Hazara dan Uzbek hidup bersama, kadang-kadang tak rukun, di bawah satu bendera saat perang satu dasawarsa berkobar tanpa terlihat akhirnya.

Masih belum jelas yang mendapat keuntungan besar dari sengketa aliran di Afghanistan, tempat orang telah menyuarakan kekhawatiran akan peningkatan perang saudara setelah pasukan tempur NATO ditarik, yang dijadwalkan pada 2014.

Hingga kini, pemimpin Syiah menyeru ketenangan pasca-serangan dahsyat belum pernah terjadi itu.

Dewan ulama Syiah, yang dipandang sebagai tokoh Syiah di Afghanistan, segera mengeluarkan pernyataan mengutuk serangan itu dan mendesak masyarakat tidak menanggapinya dengan kekerasan.

Mohammad Mohaqqiq, warga suku Hazara dan pemimpin salah satu partai utama Syiah Afghanistan, mengeluarkan pernyataan menyeru rakyat Afghanistan mengaji pasca-kekerasan itu dengan sungguh-sungguh dan hati-hati.

Beberapa tokoh Syiah menyatakan yakin bahwa gerilyawan tidak akan berhasil menciptakan perpecahan.

Alemi Balkhi, anggota parlemen Syiah, menyatakan rakyat menyadari persekongkolan itu dan akan bersabar.

Tapi, pengulas Ahmad Saeedi menyatakan ancaman dampak jangka panjang serangan itu nyata.

Ia menyatakan unsur di Pakistan, yang pada Senin memboikot muktamar Bonn mengenai masa depan Afghanistan setelah serangan udara NATO menewaskan 24 tentara Pakistan, khawatir tentang perkembangan, termasuk perundingan Kabul dengan Washington atas kesepakatan kemitraan strategis.

"Ini bahaya, karena meskipun secara umum damai, hubungan Syiah dengan Sunni Afghanistan tetap rapuh," katanya.

"Kita menyaksikan beberapa kekerasan aliran pada masa lalu. Kekerasan aliran dapat meletus jika dipancing. Itu akan mengakibatkan kekacauan dan pelaku bisa mendapat keuntungan," katanya.

Banyak warga Afghanistan sangat tak yakin terhadap peran Pakistan di Afghanistan, dengan menuduhnya menawarkan tempat aman bagi pejuang dan mendalangi serangan.

Islamabad membantah dengan menyatakan juga menderita di tangan Taliban dan menegaskan memiliki peran penting dalam setiap langkah menuju perdamaian, yang saat ini terhenti.

Syiah -yang mengalami penganiayaan di bawah Taliban pada 1990- meningkatkan upacara berkabung di Kabul pada tahun ini, dengan kuil dan bendera hitam menghiasi banyak tempat di kota tempat mereka belum pernah rambah.

Namun, belum jelas apakah itu membantu mendorong serangan tersebut atau apakah ada alasan lain, mungkin politik.

"Serangan itu tampak dirancang untuk sengaja memicu kekerasan suku dan aliran, tapi mereka juga bisa menggembleng perlawanan terhadap yang dilihat sebagai upaya luar untuk lebih mengganggu hubungan Afghanistan, yang sudah terkepung," kata Kate Clark dari kelompok pemikir Kabul Jaringan Pengulas Afghanistan.

"Dalam rangka memahami dampak jangka panjang pembunuhan itu, kita perlu mengetahui siapa di balik serangan tersebut, apa pesannya dan siapa tujuan pesan itu. Kita hanya bisa berharap bahwa itu satu-satunya serangan, tidak pernah diulang," katanya.

(B002/Z002)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011