Presiden mengatakan ada tiga hal yang menjadi fokus G20 maupun B20, yaitu penanganan kesehatan yang inklusif, transformasi berbasis digital, dan transisi menuju energi berkelanjutan
Jakarta (ANTARA) - Krisis iklim menjadi perhatian dunia karena telah menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan hidup umat manusia. Maka dari itu, Presidensi G20 di Indonesia mengangkat isu tersebut sebagai salah satu agenda prioritas.

Business of Twenty (B20) sebagai salah satu grup dalam G20 yang berada di bawah jalur Sherpa pun menjadi forum yang berkomitmen untuk memerangi krisis iklim.

Target emisi nol bersih atau net zero emission yang dicanangkan Indonesia pada 2060 pada dasarnya membutuhkan dukungan pembiayaan, teknologi, hingga infrastruktur energi agar mampu mendorong pemanfaatan energi baru dan terbarukan secara optimal.

Selain itu, diperlukan pula kebijakan insentif yang tepat agar dapat meningkatkan mobilisasi pendanaan dan investasi untuk kegiatan rendah karbon, baik dari dana publik maupun investasi swasta.

Chair B20 Indonesia Shinta Kamdani mengatakan terdapat tiga strategi B20 yang dipersiapkan untuk melaksanakan komitmen melanjutkan agenda COP26 Glasgow guna mendorong swasta di Indonesia dan dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Pertama, melalui transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan melalui usulan-usulan perubahan kebijakan yang lebih kondusif atau favorable terhadap energi terbarukan dibanding energi fosil.

Strategi kedua yaitu melalui dukungan terhadap pembiayaan transisi hijau atau green transition financing, khususnya untuk negara-negara berkembang. Ini dilakukan dengan pemberian dari penerimaan-penerimaan pajak terkait karbon atau emisi untuk memberikan insentif pajak atau investasi di sektor yang lebih ramah lingkungan atau rendah emisi.

"Kami juga mendorong agar terciptanya blended finance dan penyaluran dana komitmen COP26 yang lebih baik untuk pembangunan infrastruktur hijau," kata Shinta kepada Antara.

B20 juga akan mengupayakan pendanaan transisi hijau melalui mekanisme kerja sama voluntary carbon market dengan negara lain agar perusahaan-perusahaan yang bisa menghasilkan kredit karbon dapat memperoleh pendanaan untuk memperluas investasi atau kegiatan usaha rendah emisi dari penjualan kredit karbon tersebut di pasar karbon global.

Selanjutnya, strategi ketiga adalah melalui kemudahan perdagangan dan investasi terhadap barang dan jasa hijau yang menjadi penting karena mesin rendah emisi biasanya sangat mahal, perlu investasi besar, dan impor.

Dengan demikian, berbagai hambatan perdagangan barang dan jasa untuk teknologi rendah emisi perlu diminimalkan agar pelaku usaha di negara-negara berkembang bisa memperoleh teknologi baru yang rendah emisi dengan lebih terjangkau dan bila memungkinkan bahkan dengan dukungan investasi dari negara maju.

Proyek transisi hijau yang akan didorong B20 Indonesia diharapkan menjadi salah satu warisan B20 untuk dunia yang diupayakan melalui peta jalan emisi nol bersih yang bertujuan menciptakan lebih banyak peluang bisnis, lapangan kerja bersih dan hijau, hingga pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan kolaboratif.

Untuk memperkuat peran Indonesia sebagai Presidensi G20 dan bergerak cepat mewujudkan program transisi hijau yang dapat berkontribusi bagi kesuksesan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, B20 membentuk gugus tugas bidang energi yang bernama Task Force Energy, Sustainability & Climate (ESC).


Tiga isu

Bagi komunitas bisnis yang tergabung dalam Task Force ESC B20, terdapat tiga isu utama transisi energi yang sangat penting yakni masalah akses, teknologi, dan pendanaan.

Terkait akses, diperlukan pengamanan aksesibilitas energi di mana komunitas bisnis akan mengejar kemajuan aksesibilitas untuk mewujudkan energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern, termasuk akses dan transisi energi serta elektrifikasi di daerah pedesaan dan memasak bersih.

Kemudian dengan isu peningkatan teknologi energi cerdas dan bersih, komunitas bisnis akan mengejar peningkatan teknologi dengan pesat terutama untuk mengantisipasi tantangan transisi energi di masa depan, termasuk integrasi energi baru terbarukan (EBT), efisiensi energi, bahan bakar alternatif rendah emisi, dan sebagainya.

Sementara isu mengenai pembiayaan energi berkelanjutan, komunitas bisnis juga akan mendorong ekosistem pembiayaan hijau melalui kolaborasi dengan semua komunitas pembiayaan dengan mempertimbangkan praktik dan metode bisnis terbaik.

Dari ketiga pilar tersebut, Task Force ESC B20 sedang menjabarkan vektor tindakan yang diterjemahkan ke dalam rekomendasi dan aksi kebijakan.

Task Force ESC B20 pada dasarnya memiliki tiga vektor utama, yaitu mempercepat transisi ke penggunaan energi yang berkelanjutan, memastikan transisi yang adil dan terjangkau, serta peningkatan kerja sama global untuk menjamin ketahanan energi. Melalui tiga vektor tersebut, Task Force ESC B20 sedang mengembangkan 14 aksi kebijakan.

B20 terbentuk untuk mendukung seluruh kebijakan yang akan dihasilkan dari G20, sehingga peran grup ini menjadi penting karena membahas isu energi yang terjadi saat ini dan menjadi salah satu fokus Presidensi G20 Indonesia.

"Presiden mengatakan ada tiga hal yang menjadi fokus G20 maupun B20, yaitu penanganan kesehatan yang inklusif, transformasi berbasis digital, dan transisi menuju energi berkelanjutan. Jadi task force ini strategis untuk bersama-sama menghasilkan rekomendasi kebijakan," ujar Chair Task Force ESC B20 Nicke Widyawati.

Transisi menuju ekonomi hijau yang berkelanjutan merupakan tanggung jawab besar sekaligus memberikan peluang besar, sehingga potensi di sektor EBT harus diikuti dengan skenario dan peta jalan yang jelas, termasuk pendanaan dan investasi.

Adapun Indonesia memiliki potensi EBT sebesar 418 gigawatt, baik yang bersumber dari air, panas bumi, angin, maupun matahari. Selain itu, Indonesia juga memiliki kekayaan sumber daya mineral logam untuk mendorong transisi menuju ekonomi hijau yang berkelanjutan.

Namun, terdapat isu kritikal dalam peningkatan EBT, yakni teknologi yang diperlukan untuk mengelola sumber daya energi di tanah air yang melimpah untuk diproses menjadi energi yang ramah lingkungan, serta terkait pendanaan.

Dengan demikian, yang harus dilakukan saat ini adalah membuat program yang bisa menyeimbangkan hal-hal tersebut agar target emisi nol bersih pemerintah di tahun 2060 tercapai.

Ada alasan mengapa semua pihak, termasuk pebisnis, harus terlibat mengatasi ancaman peningkatan suhu bumi saat ini. Semakin meningkatnya bencana hidrometeorologi sebagai buntut dari peningkatan suhu yang disebabkan semakin meningkatnya emisi gas rumah kaca hasil dari aktivitas manusia, menjadi alasan bahwa pebisnis pun tidak boleh ketinggalan untuk mengatasi krisis iklim.

Baca juga: Kementerian ESDM jadikan hidrogen sebagai kontributor transisi energi
Baca juga: Inggris tawarkan kerja sama transfer teknologi capai emisi nol bersih
Baca juga: Kadin berharap pemerintah kota buat peta jalan capai nol emisi karbon

Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022