Jakarta (ANTARA) - Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengingatkan kuasa hukum pemohon pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis bahwa surat kuasa merupakan alas hak seseorang untuk beracara atau bersidang.

"Soal surat kuasa akan kami pertimbangkan. Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang esensial," kata hakim MK Prof. Enny Nurbaningsih dalam sidang lanjutan pengujian materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis di Jakarta, Selasa.

Pada sidang sebelumnya, kata Prof. Enny, majelis hakim telah mengingatkan salah seorang kuasa hukum pemohon perihal surat kuasa.

Akan tetapi, pada sidang lanjutan, kuasa hukum pemohon yakni Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga tidak melampirkan surat kuasa, termasuk menandatanganinya.

Sebelum sidang dimulai, hakim MK Prof. Enny meminta kuasa hukum untuk membacakan surat kuasa yang diberikan kepadanya. Usai membaca seluruh isi surat kuasa khusus tersebut, diketahui belum ditandatangani oleh kuasa hukum maupun pemberi kuasa termasuk pencantuman meterai pada surat.

"Bagaimana Anda belum tanda tangan dan kemudian belum diberikan meterai sebagaimana ketentuan perundang-undangan?" tanya hakim MK Enny Nurbaningsih.

Sementara itu, kuasa hukum pemohon Leonardo Siahaan mengatakan bahwa pihaknya sudah membuat surat kuasa namun tertinggal di fotokopi. Saat dicari kembali, dia tidak menemukan.

"Kami mau mem-print lagi tetapi fotokopi tutup yang mulia," kata dia.

Kendati demikian, majelis hakim tetap mengizinkan kedua kuasa hukum tersebut menyampaikan sejumlah pokok-pokok perbaikan pemohon, termasuk poin petitum.

Permohonan pemohon, kata Leonardo, ialah Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis terhadap Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945.

"Pemohon memohon untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang 1945," ujarnya.

Dalam petitumnya, pemohon memohon majelis hakim MK untuk menerima dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Selanjutnya, meminta majelis hakim untuk menyatakan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tidak sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat.

Berikutnya, memerintahkan pemuatan putusan tersebut dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila majelis berpendapat lain, pemohon meminta putusan yang adil.

Baca juga: Sahroni apresiasi Putusan MA tolak uji materi Permendikbud Ristek

Baca juga: Uji materi di MK buka peluang revisi UU kepemiluan

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022