Jakarta (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai berkembangnya digitalisasi di sektor keuangan bagai pedang bermata dua yaitu mempermudah transaksi, namun juga meningkatkan probabilitas serangan siber.

Deputi Direktur Basel & Perbankan Internasional, Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Tony mengatakan serangan siber yang terjadi pada 10 besar industri pada 2021 sebanyak 22,4 persennya terjadi di sektor keuangan. Jika dirinci ada 70 persen serangan yang ditujukan kepada perbankan, 16 persen perusahaan asuransi, dan 14 persen sektor keuangan lainnya.

"Probabilitas serangan siber di sektor keuangan ke depan diprediksi bisa mencapai 86,7 persen dan memang diprediksi akan sukses apabila bank-bank tidak siap untuk melakukan mitigasi kepada keamanan siber," ujar Tony lewat keterangan di Jakarta, Selasa.

Di tengah proyeksi kenaikan ekonomi dan keuangan digital, lanjutnya, ancaman keamanan siber berpotensi menimbulkan risiko besar bagi bisnis perbankan digital pada beberapa tahun mendatang.

Baca juga: Perusahaan sektor keuangan diingatkan serangan siber dari internal

Berdasarkan data International Monetary Fund (IMF) tahun 2020, estimasi total kerugian rata-rata tahunan yang dialami sektor jasa keuangan secara global yang disebabkan oleh serangan siber yaitu senilai 100 miliar dolar AS atau lebih dari Rp1.433 triliun.

Chief Information Security Officer Bank Mandiri Saladin D Effendi mengatakan digitalisasi yang terus berkembang dalam memberikan kenyamanan para nasabah, tentu dibarengi dengan ancaman risiko serangan. Hal tersebut tentu harus diantisipasi oleh perbankan.

Menurutnya, ada tiga ancaman kejahatan siber teratas global 2022 yaitu social engineering dan ransomware, identity dan access control attack, serta supply chain attack.

Dalam kasus social engineering dan ransomware, lanjut Saladin, sebenarnya yang banyak terjadi adalah orang-orang jadi sering klak-klik gara-gara kerja di rumah. Sebanyak 47 persen ternyata terjebak pada phishing email yang diklik, jadi mengaktifkan ransomware.

"Kemudian ransomware dari 2020 ke 2021 itu meningkat 435 persen, karena sekarang sudah ada servisnya yang bisa diunduh, bisa diambil, bisa nyerang. Ini yang jadi threat nomor satu, threat keduanya itu identity dan access control attack, dan threat ketiga itu supply chain attack," ujar Saladin.

Baca juga: Indonesia hadapi 11 juta serangan siber pada kuartal pertama 2022

Baca juga: Laporan: Perubahan iklim rugikan perusahaan asuransi

 

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022