JAKARTA (ANTARA) - Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menilai neraca perdagangan Indonesia yang terus surplus berdampak baik pada kestabilan nilai tukar Rupiah.

“Ketika neraca dagang itu surplus berpotensi mendatangkan pundi valas yang lebih besar ke devisa, sehingga bisa mendorong nilai tukar menjadi lebih stabil di tengah ketidakpastian konflik geopolitik dan pandemi yang belum berakhir di beberapa negara,” kata Ekonomi CORE Yusuf Rendy saat dihubungi Antara, Selasa.

Nilai tukar rupiah yang relatif stabil, lanjutnya, bisa memperkecil dorongan ataupun ruang untuk Bank Indonesia untuk bisa kemudian nanti misalnya menaikkan suku bunga acuan dengan berpatokan pada inflasi saja.

“Kemungkinan besar hanya dari inflasi saja karena nilai tukarnya berpotensi berada di level yang relatif stabil akibat akibat adanya surplus perdagangan yang melonjak cukup tinggi di bulan April ini,” ujarnya.

Neraca perdagangan yang pada April 2022 mencapai 7,56 miliar dolar AS dan menjadi surplus tertinggi sepanjang sejarah, dinilai Yusuf tidak terlepas dari trend harga komoditas terutama harga komoditas unggulan seperti batubara dan juga harga minyak yang relatif lebih tinggi dibandingkan posisi di bulan sebelumnya.

Di saat yang bersamaan juga terjadi peningkatan dari impor terutama impor untuk barang konsumsi ternyata tidak setinggi dibandingkan proyeksi yang disampaikan oleh pemerintah serta impor barang modal bahan baku pun meningkat secara year on year.

“Kalau saya lihat memang kombinasi dari kenaikan harga komoditas dan juga peningkatan permintaan di bulan April dan disaat yang bersamaan impor yang relatif tumbuh lebih rendah dibandingkan ekspor yang kemudian mendorong neraca perdagangan kembali surplus,” jelasnya.

Kinerja gemilang neraca perdagangan tersebut diakui CORE cukup mengejutkan karena sebelumnya diproyeksikan harga komoditas seperti CPO mengalami penurunan akibat turunnya harga CPO global. Namun hal tersebut ternyata belum terlalu berdampak terhadap kondisi neraca perdagangan di bulan April.

Kendati demikian ia mengingatkan agar pemerintah tetap waspada karena surplus perdagangan yang meningkat tajam tersebut disinyalir karena harga komoditas yang meningkat drastis namun tidak terlalu meningkat dari segi volume. Termasuk juga faktor isu global yang beredar seperti ketidakpastian akibat misalnya konflik geopolitik Rusia dan Ukraina yang berdampak pada kondisi perekonomian.

“Artinya nilai harga dari produk komoditas akan relatif lebih rendah apabila sekali lagi kondisi perekonomian sudah jauh lebih stabil,” tuturnya.

Selain itu faktor yang diwaspadai adalah pandemi COVID-19 yang penanganannya belum merata di seluruh dunia yang berpotensi untuk mendatangkan gelombang baru dan akan mempengaruhi negara tujuan dari ekspor Tanah Air.

Baca juga: BPS: Neraca pedagangan RI April surplus 7,56 miliar dolar AS

Baca juga: Pemerintah tetap optimalkan TPIN jaga inflasi meski ekspor surplus


Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022