Jenewa (ANTARA) - Upaya untuk memperluas keanggotaan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) hingga mencakup Ukraina, yang dianggap sebagai ancaman keamanan oleh Rusia, telah lama ditentang oleh Prancis dan Jerman.

Sementara itu, Finlandia dan Swedia berencana bergabung dengan NATO.

Semua perkembangan ini berkontribusi terhadap terlewatnya peluang untuk mengajukan arsitektur keamanan Eropa yang inklusif kepada Rusia, dan menurut Pierre Conesa, mantan pejabat senior Kementerian Pertahanan Prancis, itulah sumber dari "krisis Ukraina" yang sedang terjadi.

Dalam wawancara dengan Xinhua baru-baru ini, dia mengatakan konsekuensi dari semua ini dirasakan secara lebih kuat oleh Eropa dibandingkan Amerika Serikat (AS). Para diplomat dan pengambil keputusan politik juga harus memperhatikan kebutuhan untuk menjaga dialog dengan Rusia, yang masih menjadi mitra penting, ujarnya.
 
Para staf bekerja di kantor pusat NATO di Brussel, Belgia, pada 24 Maret 2022. (Xinhua/Zheng Huansong)Sejumlah orang yang membawa foto kerabat mereka yang berjuang dalam Perang Dunia II ambil bagian dalam pawai Resimen Abadi di Moskow, Rusia, pada 9 Mei 2022. (Xinhua/Alexander Zemlianichenko Jr)


Ekspansi NATO

Jika Finlandia dan Swedia bergabung dengan aliansi militer itu, yang disebut oleh kedua negara sebagai hal yang hendak mereka lakukan, hal itu akan mengakhiri kebijakan militer tidak berpihak yang sudah lama mereka terapkan.

Menurut Conesa, meski proses bergabungnya kedua negara itu akan memakan waktu, Finlandia dan Swedia yang pada akhirnya akan bergabung dengan NATO akan menimbulkan perubahan keseimbangan kekuatan yang menguntungkan NATO.

Menurutnya, NATO akan memiliki kapasitas untuk memindahkan senjata nuklir ke perbatasan Finlandia dengan Rusia sepanjang 1.300 kilometer, dan aliansi itu juga bisa saja memutuskan untuk mengerahkan kapal selam ke rute maritim di dekat pelabuhan bebas es Murmansk di Rusia, semakin membatasi akses negara itu ke pelabuhan laut air hangat yang sudah terbatas.

Lima putaran ekspansi NATO sebelumnya telah menjadikan aliansi militer Barat itu lebih dari 1.000 km lebih dekat ke perbatasan Rusia dalam dua dekade lebih.

Menurut Conesa, Moskow jelas menganggap ekspansi tersebut "ofensif," dan oleh karena itu ketegangan yang ada saat ini bukanlah hal mengejutkan.

"Tentu saja, salah satu prinsip utama NATO adalah memastikan keamanan nuklir para anggotanya, yang berarti pihaknya dapat memasang rudal nuklir di sepanjang perbatasan Rusia, yang sebelumnya tidak seperti itu," ujarnya.
 
Sejumlah orang yang membawa foto kerabat mereka yang berjuang dalam Perang Dunia II ambil bagian dalam pawai Resimen Abadi di Moskow, Rusia, pada 9 Mei 2022. (Xinhua/Alexander Zemlianichenko Jr)Para pemimpin menghadiri rapat Dewan Eropa di Brussel, Belgia, pada 24 Maret 2022. (Xinhua/Uni Eropa)


"Jadi, sensitivitas Rusia dirasakan secara jauh lebih kuat oleh negara-negara Eropa dibandingkan Amerika, dan saat ini kita melihat bahwa pemerintah AS menyukai perang," tutur Conesa.

AS "lebih ofensif" dalam krisis Ukraina ketimbang negara-negara Eropa, sebutnya.

"Amerika ingin kita segera mengintegrasikan Ukraina secara penuh ke dalam NATO, dan Prancis dan Jerman menjadi pihak yang mencegah gagasan itu. Mereka mengatakan tidak, waspadalah, itu sangat sensitif bagi Rusia, dan itu tidak boleh dilakukan dengan begitu cepat. Kini faktanya kita menyaksikan bagaimana prediksi itu menjadi kenyataan," papar Conesa.

Menurut Conesa, karena tidak adanya alternatif untuk menerapkan prinsip keamanan yang tidak terpisahkan, ekspansi NATO "selalu menjadi gangguan bagi Moskow."
 
Para pemimpin menghadiri rapat Dewan Eropa di Brussel, Belgia, pada 24 Maret 2022. (Xinhua/Uni Eropa)Foto yang diabadikan pada 19 Februari 2020 ini menunjukkan Pentagon yang terlihat dari sebuah pesawat yang terbang di atas Washington DC, Amerika Serikat. (Xinhua/Liu Jie)


Keamanan kolektif

Conesa meyakini bahwa konflik tersebut seharusnya dapat dihindari jika Rusia sukses dilibatkan dalam sebuah sistem keamanan kolektif Eropa.

"Faktanya, ekspansi NATO merupakan cara untuk memandang Eropa sebagai benua yang keamanannya akan dijamin oleh aliansi militer itu. Namun demikian, kita tidak mengajukan arsitektur keamanan Eropa yang memungkinkan Rusia memiliki tempat dan berpendapat di dalamnya," katanya.

Conesa mengatakan modus vivendi diplomatik masih dapat dicapai guna mewujudkan perdamaian di Ukraina. Namun, agar hal ini terjadi, kekhawatiran keamanan Rusia harus dipertimbangkan.

"Kita perlu bekerja sama dengan Rusia untuk merancang arsitektur keamanan umum, kita harus terus berdiskusi dengan Rusia tentang semua proyek dan masalah ini. Kita harus memberi tahu mereka bahwa Anda adalah mitra, kami memahami kekhawatiran keamanan Anda."
 
Foto yang diabadikan pada 19 Februari 2020 ini menunjukkan Pentagon yang terlihat dari sebuah pesawat yang terbang di atas Washington DC, Amerika Serikat. (Xinhua/Liu Jie)Para pengunjuk rasa yang berpakaian seperti tahanan di Kamp Tahanan Teluk Guantanamo melakukan aksi protes untuk menuntut penutupan Kamp Tahanan Teluk Guantanamo di luar Gedung Putih di Washington DC, Amerika Serikat, pada 11 Januari 2018. (Xinhua/Yin Bogu)


Pengaruh beracun

Conesa mengutuk pengaruh beracun dari apa yang disebutnya sebagai kompleks militer-intelektual. Menurutnya, ini meliputi sejumlah besar tokoh publik yang berupaya mempromosikan perang sebagai kebutuhan.

Dia menyebut para penghasut perang ini sebagai sosok-sosok yang sangat jahat bagi diplomasi, yang akan mengharuskan dialog dengan Rusia.

"Para diplomat dan pengambil keputusan politik harus menangani masalah, mengklaim kembali otoritas, dan berkomunikasi dengan Moskow, yang merupakan apa yang sedang diupayakan Presiden (Prancis) (Emmanuel) Macron, guna menjaga hubungan dengan Rusia agar ketika syarat-syarat negosiasi telah siap, kita bisa mengakhirinya secara penuh," ujar Conesa.

Menurut Conesa, munculnya Russophobia atau sentimen anti Rusia disebabkan oleh berbagai wacana yang "berbahaya" dan tidak jujur ini. Baginya, laporan-laporan tentang krisis itu mengindikasikan bahwa konflik tersebut "terbatas di lokasi-lokasi tertentu," tetapi skala konflik itu kemungkinan dilebih-lebihkan.
 
Para pengunjuk rasa yang berpakaian seperti tahanan di Kamp Tahanan Teluk Guantanamo melakukan aksi protes untuk menuntut penutupan Kamp Tahanan Teluk Guantanamo di luar Gedung Putih di Washington DC, Amerika Serikat, pada 11 Januari 2018. (Xinhua/Yin Bogu


Bagi Conesa, kompleks militer-intelektual memiliki agenda, dan informasi semacam itu harus ditangani dengan hati-hati.

"Penjara Guantamano AS masih menahan lebih dari 30 individu yang ditangkap selama invasi Irak dan Afghanistan. Mereka ditahan tanpa menjalani persidangan. Apa Anda pikir kita peduli pada mereka, apa Anda pikir kita akan bertanya apakah mereka diperlakukan selayaknya manusia?" ungkapnya. 
 

Pewarta: Xinhua
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2022