Jakarta (ANTARA News) - Indonesia memberikan perhatian utama terhadap pembangunan ramah lingkungan dan rendah emisi gas rumah kaca dalam Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP 17 UNFCCC) di Durban, Afrika Selatan.

Ketua Tim Negosiasi RI Tazwin Hanif di Durban dalam keterangan persnya Senin mengatakan, Indonesia telah mengambil langkah maju dibanding negara-negara lain dengan adanya komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dan 15 persen tambahan dengan bantuan internasional, yang disandingkan bersama target pertumbuhan ekonomi 7 persen per tahun.

Ketua Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ yang juga Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto dalam diskusi tentang REDD+ bersama UNEP dan Kementerian Lingkungan Hidup Norwegia di Durban, sebelumnya mengatakan bahwa panduan pembangunan ekonomi hijau dilakukan terintegrasi dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI) dan program percontohan REDD+.

"Kami sedang menyusun program bersama UNEP dengan menggunakan Kalimantan Tengah sebagai Provinsi Percontohan untuk REDD + di Indonesia," kata Kuntoro.

Dia menjelaskan, Presiden RI memilih Kalteng sebagai provinsi percontohan pelaksanaan REDD+ karena diproyeksikan emisi meningkat 50 persen pada 2020 dibandingkan tahun 2005 kalau pembangunan dilakukan secara "business as usual", yang menjadikan Kalteng salah satu provinsi dengan emisi tertinggi di Indonesia.

Tingkat emisi tersebut dihasilkan dari kebakaran hutan, pembukaan lahan untuk kelapa sawit dan dekomposisi gambut.

Pemerintah Indonesia, lanjutnya, menggandeng UNEP melalui UNORCID-- Kantor Koordinasi PBB untuk REDD+ di Indonesia-- untuk melihat, menghubungkan, menganalisis sampai menerapkan model pelaksanaan REDD+ dengan memasukkan unsur-unsur penting dari ekonomi.

Menyelesaikan analisis dengan unsur yang tidak dipertimbangkan sebelumnya - karbon, keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem dan dengan mempertimbangkan baik biaya dan manfaat yang relevan.

Kuntoro mengatakan pemodelan pembangunan hijau di Kalteng yang bertujuan melindungi, memulihkan dan mengelola lanskap hutan, sambil mengembangkan pertumbuhan rendah karbon ekonomi, menggunakan metodologi yang dikembangkan dalam Laporan Ekonomi Hijau UNEP 2011.

Dia melanjutkan salah satu bentuk pelaksanaan pembangunan rendah karbon adalah dengan dikeluarkannya Perpres No. 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, yang akan dilanjutkan dengan Rencana Aksi Daerah (RAD) di tingkat provinsi.

Pemerintah juga telah mengeluarkan Perpres No. 71/2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional.

Instrumen mitigasi

Menteri Lingkungan Hidup RI Balthasar Kambuaya dalam acara pembukaan Pavilion Indonesia di South Plaza Marquee, kompleks ICC Durban, Selasa (6/12/2011) mengatakan, dua keputusan presiden tersebut menjadi dasar hukum untuk instrumen mitigasi perubahan iklim di Indonesia.

Juga pedoman bagi pemangku kepentingan tentang bagaimana merumuskan tindakan mitigasi dan bagaimana mengukur dan memantau hasil pelaksanaannya.

Sedangkan Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Endah Murniningtyas mengatakan Indonesia memandang bahwa perubahan iklim merupakan bagian dari atau tak terpisahkan dari pembangunan secara keseluruhan yaitu untuk pertumbuhan ekonomi.

Serta penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan sehingga perubahan iklim adalah bagian dari pembangunan nasional.

"Indonesia serius dan tidak berhenti hanya pada komitmen tetapi melaksanakan komitmen tersebut ke dalam aksi bersama antara pemerintah, kalangan swasta dan seluruh masyarakat," kata Endah.

"Dengan cara itu, dengan membuat dan menunjukkan komitmen indonesia kita ingin mendorong semua negara maju dan negara berkembang benar-benar melaksanakan penurunan dampak perubahan iklim," tambah Endah.

(A017/A025)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011