Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memperkirakan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed akan terus meningkatkan suku bunga acuan sekitar 50 basis poin (bps) hingga 75 bps per bulannya hingga ke level 3,5 persen pada akhir tahun ini.

"Tapi itu mungkin bukan merupakan titik terakhir," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, kemungkinan tersebut seiring dengan pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell yang mengatakan tak akan segan menaikkan suku bunga di atas netral agar inflasi mampu dikembalikan ke level dua persen.

Sementara itu, saat ini inflasi di Negeri Paman Sam masih berada di level yang sangat tinggi, yakni 8,4 persen.

Secara historis, Sri Mulyani menjelaskan tekanan inflasi tinggi di Negeri Paman Sam selalu direspons dengan kenaikan suku bunga acuan yang tinggi pula.

Bahkan, kemungkinan akan diikuti dengan kontraksi balance sheet The Fed yang akan menyebabkan pengetatan likuiditas lebih dalam lagi.

Salah satu contohnya yakni pada tahun 1974 di mana inflasi AS mencapai 12,3 persen sehingga suku bunga acuan dinaikkan menjadi 13 persen, begitu pula pada 1980 saat inflasi melonjak menjadi 14,8 persen dan bunga acuan dinaikkan menjadi 20 persen.

Namun saat suku bunga acuan AS meningkat cukup tinggi, ia menuturkan biasanya pertumbuhan ekonomi di Negeri Adidaya cenderung menjadi negatif, bahkan terjadi resesi.

"Ini adalah yang disebut fenomena stagflasi dan merupakan risiko baru yang sangat kompleks," ungkap Bendahara Negara tersebut.

Baca juga: Wall St berakhir turun tajam, Dow Jones turun lebih dari 1.100 poin

Baca juga: DPR ingatkan RI harus bersiap diri hadapi Fed yang lebih "hawkish"

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022