Tidak beralasan kalau aturan kekarantinaan ada keharusan menyertakan RIPH
Jakarta (ANTARA) - Pengamat hukum Rizky Ihsan menilai Rancangan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Pengawasan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) mengandung dua persoalan.

Pertama, menurut dia, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, soal esensi pengawasan RIPH dan kedua, soal aturan memasukkan RIPH dalam aturan karantina.

Salah satu ketentuan dalam rancangan regulasi mengenai karantina yang dimaksud adalah keharusan menyertakan surat RIPH, lanjutnya, sedangkan antara RIPH dan karantina adalah dua ranah yang berbeda.

Soal namanya, yaitu pengawasan RIPH, menurut dia, selama ini RIPH adalah instrumen untuk mengatur importasi produk hortikultura dengan tujuan agar produk dalam negeri terlindungi dari serbuan produk impor.

"Hal ini kan kalau kita jujur adalah semacam trade barrier non tariff. Nah, dalam UU Ciptak Kerja tidak ada lagi aturan penggunaan RIPH lagi sebagai syarat untuk impor. Di Permendag 20/2021 juga disebut demikian, jadi apanya yang mau diawasi?" kata Rizky.

Beberapa waktu yang lalu, Badan Karantina Pertanian (Barantan) Kementan meminta kesediaan para importir untuk menandatangani bahan evaluasi terkait RIPH.

Menurut Barantan, mereka akan mencatat importir apakah memiliki atau tidak memiliki RIPH hanya sebagai bahan evaluasi untuk direktorat jenderal teknis penerbit RIPH, Satgas Pangan, Kemendag sebagai penerbit SPI, Kemenko Perekonomian, dan kementerian/lembaga lain yang membutuhkan.

Sejumlah kalangan khawatir meskipun disebut ketentuan soal RIPH hanya sebagai bahan evaluasi, tetapi praktiknya tetap akan membuka kemungkinan bagi tidak lolosnya produk hortikultura impor dari karantina.

Perkembangan terbaru menyebut bahwa keharusan menyertakan RIPH itu akan dibakukan dalam permentan sebagai syarat karantina.

Menurut Rizky, pengawasan terhadap sesuatu dilakukan ketika itu digunakan dalam praktik sebuah tindakan atau kegiatan hukum.

RIPH adalah semacam rekomendasi teknis yang dulu dimasukkan sebagai syarat untuk mendapatkan surat persetujuan impor (SPI) dari Kemendag.

Berdasarkan aturan baru, tidak ada lagi syarat RIPH tersebut, tambahnya, jadi penamaan Rapermentan soal pengawasan RIPH itu sendiri patut dipertanyakan.

Masalah kedua, tambahnya, adalah ketentuan karantina yang memasukkan RIPH sebagai syarat pemeriksaan.

"Original intens keduanya berbeda. Ini penting sebagai bentuk tertib perundang-undangan agar aturan yang baru tidak membuat kerumitan baru yang menyusahkan masyarakat," katanya.

Di satu sisi, lanjutnya, RIPH adalah ketentuan yang ditujukan untuk menjaga neraca komoditas hortikultura, sehingga produk dalam negeri terlindungi ketika harus bersaing dengan produk impor.

Sedangkan, aturan karantina itu tujuannya melindungi kemungkinan masuknya suatu zat, mikroorganisme, penyakit yang bisa membahayakan baik terhadap manusia maupun flora dan fauna yang ada di Indonesia, sehingga keduanya punya ranah yang sangat berbeda.

Oleh karena itu, Rizky berpendapat tidak beralasan kalau aturan kekarantinaan ada keharusan menyertakan RIPH.

Baca juga: Peneliti: Pemerintah perlu pertimbangkan opsi impor bawang putih
Baca juga: DPR ingin kebijakan terkait hortikultura ditata ulang lebih kondusif
Baca juga: Peneliti apresiasi relaksasi kebijakan impor benih di UU Cipta Kerja

Pewarta: Subagyo
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022