Jakarta (ANTARA News) - Tim Nasional sepak bola Indonesia dengan organisasinya PSSI kembali terpuruk ke dalam mimpinya untuk mencapai target sebagai tim kelas dunia.

Memang tidak mudah dan perlu waktu yang panjang untuk mencapai apa yang dicita-citakan masyarakat pecinta sepak bola Indonesia dalam upaya merebut gelar juara baik itu untuk tingkat ASEAN, Asia bahkan dunia.

Hal itu tercermin dalam satu tahun perjalanan pendek sepak bola Indonesia pada tahun 2011 ini.

Sedikitnya dua event internasional dijajal Timnas PSSI yakni Kualifikasi Piala Dunia 2014 dan ASEAN Games 2011, namun hasilnya belum seperti yang diimpikan.

Dalam putaran ketiga Pra Piala Dunia Brasil 2014, Indonesia yang masih menyisakan satu pertandingan ini pun tetap bercokol di urutan buncit klasemen grup E tanpa mengoleksi satu poin pun di bawah tim elit Asia Iran, Qatar dan Bahrain.

Tim Merah Putih ditangani pelatih asal Belanda Wim Rijsbergen yang menggantikan Alfred Riedl ini mengalami lima kali kekalahan dari lima kali pertandingan.

Indonesia yang dimotori pemain veteran Bambang Pamungkas hanya mampu mencetak tiga gol sementara kebobolan 16 gol. Indonesia kembali kehilangan kesempatannya untuk tampil di pentas Piala Dunia 2014 di Brasil.

Untul level Timnas U-23, hal yang cukup menggembirakan adalah penampilan mengesankan tim muda yang ditangani pelatih Rahmad Darmawan di awal laga SEA Games 2011 pada 11-22 November lalu.

Bermain di kandang sendiri dan didukung suporter Merah Putih mampu membantu perjuangan Yongki Ariwibowo dan kawan-kawan hingga mampu tembus ke partai puncak.

Namun hasil anti klimaks, Tim Garuda Muda ini pun gagal mempersembahkan medali emas cabang sepak bola perhelatan olahraga kawasan Asia Tenggara ini setelah kalah adu penalti melawan juara bertahan Malaysia di final. Bahkan selang sebulan, Rahmad Darmawan pun bertanggung jawab dengan menyatakan mundur dari jabatannya sebagai pelatih Timnas U-23.

Untuk kelompok junior, Indonesia juga tak mampu berbicara banyak. Tim junior Merah Putih U-19 dan U-16 tak mampu menembus putaran final tingkat Asia.

Akibatnya, Indonesia harus terlempar dari 20 besar Asia mememasuki tahun baru 2012.

Sesuai data peringkat FIFA yang dikeluarkan 21 Desember 2011, Indonesia harus bercokol di urutan ke-21 atau peringkat 142 dunia. Hal ini berbeda ketika di akhir tahun 2010, posisi Indonesia masih cukup bagus dengan menempati urutan 19 Asia atau peringkat 127 dunia.

Sementara lima besar Asia akhir tahun 2011 ini ditempati juara Asia Jepang (19 dunia FIFA), disusul Australia (23), Korsel (32), Iran (45) dan China (71).

Kompetisi Kembali Pecah
Kompetisi merupakan jantung dari pembentukan sebuah tim nasional. Para pemain yang mengisi komposisi Timnas tentunya pemain terpilih berasal dari klub-klub yang tampil di kompetisi nasional.

Namun, faktanya kompetisi kasta tertinggi di Indonesia ini kembali pecah menjadi dua kelompok yakni Indonesia Super League (ISL) yang ditangani PT Liga Indonesia dan Indonesia Primier League (IPL) yang dikelolo PT LPIS.

Apakah Ada yang tidak beres dalam kepengurusan Djohar Arifin Husin yang terpilih dalam Kongres Luar Biasa Solo pada Juli 2011?

Hampir lima bulan kerja PSSI di bawah Djohar Arifin Husin dinilai telah banyak melakukan penyimpangan terkait dengan Kongres Bali dan Statuta PSSI.

Salah satu yang dilanggar adalah jumlah klub kompetisi tertinggi seharusnya 18 klub tetap diubah menjadi 24. Selain itu memasukkan klub yang tidak melalui proses dengan semestinya. Kompetisi ini diberi nama IPL.

Anggota Komisi X DPR RI Zulfadly menyatakan kecewa dengan tindak tanduk kepengurusan PSSI saat ini yang telah melenceng dari janjinya.

"Beberapa saat setelah Djohar Arifin terpilih sebagai ketua umum, beliau menyampaikan tiga hal pokok yakni akan membuat kepengurusan yang ramping, menggelar kompetisi profesional dan menghormati Statuta dalam rangka rekonsiliasi. Tapi pada kenyataannya semua dilanggar dan mereka terus bersikeras. Untuk itu kami persilakan saja anggota PSSI untuk melakukan perbaikan melalui forum seperti ini," ujar Zulfadly yang juga ketua Pengrov Kalbar ini.

Komentar lain oleh anggota Komisi X DPR RI, Deddy Gumilar, mengatakan bahwa kisruh organisasi PSSI itu bahkan berimbas kepada beberapa pemain potensial Indonesia yang sudah berjuang merebut medali perak di ajang SEA Games belum lama ini.

Sejak dulu Indonesia Super League (ISL) merupakan badan yang sah untuk menggelar kompetisi di Indonesia. "Tiba-tiba, barang yang dari dulu halal menjadi haram. Yang dulu legal jadi ilegal dan sebaliknya. Ini aneh," tukas Miing.

Anggota Komisi X lainnya, Nyoman Dhamantra menuturkan hal senada. "Saya nyatakan telah terjadi politisasi di persepakbolaan kita. Kasusnya yang sekarang tidak lebih kecil dampaknya dari kasus Nurdin Halid. Saya berani pastikan itu," tegasnya.

Menurutnya, pergantian kepemimpinan di tubuh PSSI tak dibarengi dengan konsolidasi persepakbolaan Indonesia.

"Hanya pemindahan kekuasaan saja. Apa bedanya. Ini akan terus menuai konflik. Kita sudah sampaikan ke Menpora dan KONI, tujuannya bukan mengganti orangnya, tapi konsolidasi di tubuh persepakbolaan kita," kata Dhamantra.

Sementara Ketua Pengprov Riau, Indra Muchlis Adnan dan Sekretaris Pengprov Papua Husni Thamrin menyerukan perlunya dilakukan perombakan susunan kepengurusan PSSI dan memilih figur pemimpin yang tulus untuk benar-benar membenahi sepakbola nasional yang bisa mengayomi semua pihak.

"Kami mohon bantuan untuk membuka kembali hak Indonesia (Persipura) agar tetap tampil di Liga Champion Asia," ujar Husni Thamrin. Persipura terlempar tampil di LCA karena mengikuti ISL dikelola PT Liga Indonesia yang telah dianggap kompetisi ilegal oleh PSSI.

Akhirnya, mayoritas (452 dari 583 klub dan pengrov) anggota PSSI yang hadir pada Rapat Akbar Sepak bola Nasional (RASN) di Hotel Pullman, Jakarta, Minggu (18/12), menuntut pelaksanaan Kongres Luar Biasa (KLB) sebelum 30 Maret 2012.

Deklarasi Jakarta ini meminta kepada federasi sepak bola Indonesia untuk segera menanggapi permintaan dari pemilik suara.

RASN langsung membentuk Komite Penyelamat Sepak bola Indonesia (KPSI) yang diketuai oleh Tony Apriliani. Pemilik suara juga menyatakan mosi tidak percaya kepada beberapa anggota Komite Eksekutif, termasuk Ketua Umum Djohar Arifin Husin dan Wakil Ketua Umum PSSI Farid Rahman.

PSSI sendiri menilai bahwa agenda RASN adalah bukan agenda PSSI.

Selang dua hari, Komite Etik PSSI memutuskan sanksi kepada empat anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI yakni La Nyalla Mattalitti, Roberto Rouw, Tony Apriliani dan Erwin Dwi Budiawan karena dinilai telah melakukan pelanggaran. Mereka harus meminta maaf secara tertulis kepada Ketua Umum PSSI, anggota Exco lainnya, AFC dan FIFA.

Keempat anggota Exco PSSI dinilai telah melakukan pelanggaran yaitu mengirimkan surat ke AFC dan FIFA serta memprovokasi pertemuan di Hotel Novotel Surabaya, untuk melawan kebijakan PSSI yang telah diputuskan melalui rapat Exco yang turut dihadiri para terlapor.

Jika tidak melaksanakan putusan ini adalah menghentikan dengan tetap sebagai anggota Exco PSSI serta dari persepakbolaan nasional Indonesia, kata Todung Mulya Lubis selaku Ketua Komite Etik.

Selanjutnya, pada 21 Desember, akhirnya FIFA mengeluarkan surat yang ditanda tangani Sekjen FIFA Jerome Valcke bersama Sekjen AFC Alex Soosay ke PSSI untuk merangkul klub-klub ISL. Jika menolak, FIFA meminta PSSI memberi sanksi kepada mereka dan pemain klub-klub tersebut tidak bisa membela Timnas.

FIFA memberi batas waktu 20 Maret 2012 bagi PSSI untuk menyelesaikan persoalan ini.

IFW (Indonesia Football Watch) menilai konflik di tubuh PSSI saat ini mengingatkan pada kisah Ken Arok yang mendapat kutukan Mpu Gandring di Kerajaan Singosari.

"Konflik di tubuh PSSI ini situasinya mirip dengan kisah Ken Arok yang mendapatkan kutukan Mpu Gandring. Kalau situasi `balas dendam` terus berlangsung, maka sepak bola kita akan sulit untuk berbenah," kata Ketua IFW Sumaryoto.

IFW berharap PSSI di bawah pimpinan Ketua Umum Djohar Arifin Husin, harus segera kembali ke aturan yang ada dan bukan mengesankan saling balas dendam. Tetapi kalau sebaliknya, selalu terjadi konflik, maka harus ada pemilihan ketum baru. Namun hal ini dapat dibicarakan bersama agar semua kembali kepada aturan sehingga terciptalah rekonsiliasi.
(T009)

Oleh Tasrief Tarmizi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011