Bengaluru (ANTARA) - Pasar saham Asia menguat pada perdagangan Rabu sore, bahkan ketika bank-bank sentral diperkirakan akan meningkatkan kenaikan suku bunga yang agresif untuk memerangi inflasi yang melonjak dan membuat investor khawatir tentang pertumbuhan global yang lebih lambat.

Indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang terangkat 0,72 persen, dengan saham Australia berakhir naik 0,37 persen, Seoul ditutup bertambah 0,44 persen dan Taiwan naik 0,88 persen. Indeks Hang Seng Hong Kong menetap 0,29 persen lebih tinggi dan indeks CSI300 China naik 0,61 persen, sementara indeks Nikkei Jepang berakhir turun 0,26 persen.

Pasar Eropa juga tampak bersiap untuk pembukaan yang lebih kuat, dengan kontrak berjangka pan-Eropa naik 0,93 persen dan FTSE 100 berjangka naik 0,88 persen.

Indeks dolar AS yang mengukur mata uang itu terhadap enam rival utamanya - rebound 0,16 persen menjadi 101,92, level yang tidak terlihat sejak 26 April. Sementara itu, kiwi mencapai level tertinggi tiga minggu di 0,65 dolar AS setelah bank sentral Selandia Baru menaikkan suku bunga agresif 50 basis poin dan mengisyaratkan lebih banyak lagi yang akan datang.

Semalam, Wall Street terhuyung-huyung tertekan data perumahan dan manufaktur yang lemah, sementara para gubernur bank sentral AS mendukung dua kenaikan suku bunga besar lagi pada awal Juni dan Juli untuk melawan inflasi setinggi 40 tahun.

Indeks Kompsoit Nasdaq jatuh 2,35 persen dan indeks S&P 500 kehilangan 0,81 persen.

Penjualan rumah baru di AS merosot 16,6 persen bulan ke bulan pada April, penurunan terbesar dalam sembilan tahun, mengirimkan imbal hasil obligasi AS turun ke posisi terendah satu bulan karena investor kembali beralih ke tempat yang aman. Imbal hasil acuan obligasi pemerintah AS 10-tahun berada di 2,766 persen dan imbal hasil 2-tahun berada di 2,522 persen.

Tetapi Presiden Fed Atlanta, Raphael Bostic memperingatkan kenaikan suku bunga cepat dapat menciptakan "dislokasi ekonomi yang signifikan" dan termasuk di antara segelintir pembuat kebijakan Fed yang mendukung pengurangan laju kenaikan suku bunga di akhir tahun jika inflasi mereda.

Investor di Asia tetap gelisah tentang pertumbuhan yang dipengaruhi oleh efek penguncian COVID-19 China yang terus-menerus, yang mengancam akan merusak langkah-langkah stimulus baru-baru ini di ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

"Di Asia, perdebatan investor berpusat pada apakah kebijakan pelonggaran China cukup untuk mengimbangi tekanan ke bawah," kata Stephen Innes dari SPI Asset Management dalam sebuah catatan.

"Pengganda fiskal akan minimal dalam ekonomi di mana aktivitas ekonomi telah melambat tajam. Bergerak melampaui pembatasan mobilitas dalam waktu singkat adalah prasyarat, tetapi bukan jaminan, untuk pemulihan ekonomi yang dipimpin Asia."

Sementara itu, harga emas turun 0,19 persen menjadi diperdagangkan di 1.862,27 dolar AS per ounce, setelah naik ke level tertinggi dalam dua minggu pada Selasa (24/5/2022), karena greenback naik.

Harga minyak naik lebih dari satu persen didorong prospek pasokan yang ketat. Minyak mentah berjangka AS naik menjadi diperdagangkan di 111,05 dolar AS per barel, dan Brent naik menjadi diperdagangkan di 114,86 dolar AS per barel.

Baca juga: Pasar saham Asia bergumul dengan kekhawatiran inflasi dan suku bunga
Baca juga: Saham Asia melemah tertekan kekhawatiran inflasi dan Covid-19 China
Baca juga: Pasar saham Asia tertahan karena ekuitas berjangka AS mundur

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022