Jakarta (ANTARA News) - Kasus persidangan terhadap Muhammad Azwar alias Raju, yang berlanjut dengan penahanan terhadap bocah laki-laki yang menurut Kartu Keluarga lahir pada 9 Desember 1997 itu, tampaknya menarik perhatian nasional. Tidak kurang Anggota DPR, Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPA), Komisi Yudisial (KY), hingga Yeni Abdurrahman Wahid yang kini menjadi Penasehat Presiden turun langsung ke Desa Paluh Manis, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, yang berjarak dua jam perjalanan dari Medan. Permintaan penghentian persidangan terhadap Raju dan dugaan terjadinya pelanggaran prosedur pengadilan anak yang dilakukan hakim tunggal yang mengadili perkara itu, Tiurmaida H. Pardede, dilontarkan berbagai pihak sejak kasus Raju mencuat di media massa lantaran penahanan yang harus dijalani Raju di dalam sel tahanan dewasa berdasarkan penetapan penahanan yang dikeluarkan hakim sejak 19 Januari 2006. Padahal, semuanya itu berawal dari sekadar permintaan untuk berobat ke dokter dari Keluarga Armansyah yang ditolak oleh Keluarga Raju. Ibu Armansyah, Ani Sembiring, menuturkan, kejadian itu berawal pada 31 Agustus 2005 saat anaknya berkelahi dengan Raju sepulang sekolah. Meski lebih tua enam tahun dari Raju, kondisi fisik Armansyah tidak jauh berbeda dari Raju. Armansyah hanya sedikit lebih tinggi dari Raju, namun tubuhnya lebih kurus. Menurut Ani, perkelahian Armansyah dan Raju berpokok pada persoalan Iswandi, adik Armansyah yang berada satu kelas dengan Raju di kelas 3 SD Negeri 056633 Gang Mangga, Langkat, Sumatera Utara. "Iswandi sudah sepuluh hari tidak mau masuk sekolah. Ketika saya tanya kenapa, dia jawab takut sama Raju, karena setiap hari kepalanya ditokok oleh Raju," katanya. Ditokok adalah istilah bahasa di Langkat, Sumatera Utara, yang artinya sama dengan dijitak. Ani kemudian mengantar Iswandi ke sekolah, dan menemui guru Iswandi yang benama Jamal guna melaporkan keluhan anaknya mengenai perbuatan Raju. Raju pun dipanggil oleh Jamal. Meski pada awalnya membantah keterangan Iswandi, namun Raju pun akhirnya mengakui perbuatannya. Raju pun mendapat hadiah tamparan dari Jamal. Usai sekolah, Raju dalam perjalanan pulang mencari Iswandi. Namun, ia hanya melihat sang kakak Iswandi yang duduk di kelas enam, Armansyah. Perkelahian pun terjadi di antara kedua anak itu. Menurut Ani, Raju mencekik leher Armansyah, dan menjatuhkan badan Armansyah ke tanah. Raju kemudian menginjak-injak perut Armansyah menggunakan lututnya. Keduanya sama-sama menderita luka akibat perkelahian itu. Raju menderita luka robek di bibir dan luka cakaran di wajah. Sedangkan, Armansyah dalam catatan dokter (visum) menderita luka memar di iga kiri dan pinggul kiri. Armansyah pulang ke rumah sambil menangis dan mengeluh sakit di leher maupun pinggulnya. Setelah Armansyah menceritakan apa yang terjadi, Ani pun mengajak Armansyah ke rumah Raju. Saedah, ibu Raju, menyanggupi mengobati Armansyah ke tukang urut, serta mantri yang memberikan obat. Namun, setelah diurut dan mendapat obat dari mantri, pada malam harinya Armansyah tidak bisa tidur lantaran merasakan sakit yang hebat di dalam perutnya. "Dia tidak bisa tidur. Nangis semalaman sampai guling-gulingan di lantai rumah, karena merasa sakit dari dalam perutnya," tutur Ani. Karena ketakutan melihat Armansyah merasa kesakitan, Ani keesokan harinya kembali membawa Armansyah ke mantri terdekat. Namun, mantri itu menyarankan, agar Armansyah dibawa ke dokter, karena rasa sakit yang dikeluhkan pasiennya datang dari dalam perut. Akhirnya, Ani kembali mendatangi Saedah untuk meminta biaya pengobatan Armansyah ke dokter. "Saya tidak punya uang untuk membawa Armansyah ke dokter. Apalagi, mantri juga menyerah menangani Armansyah, dan menganjurkan untuk ke dokter, karena rasa sakit itu datangnya dari dalam perut," ujar Ani. Kondisi ekonomi keluarga Armansyah secara umum terlihat lebih menyedihkan dibanding keluarga Raju. Keluarga Raju cukup berada, memiliki usaha rumah makan dan tempat tingal bangunan permanen di pinggir jalan besar. Sedangkan, Sahli, ayah Armansyah, mencukupi kebutuhan keluarganya dari mengolah nira. Rumah keluarga Sahli terletak sekitar 500 meter dari jalan besar, seluas 5 x 8 meter untuk menampung enam anggota keluarga, berdinding anyaman bambu dan berlantai pasir. Menurut Ani, permintaan membawa Armansyah ke dokter ditolak oleh Saedah maupun Sugianto, ayah Raju. "Keduanya bilang, tidak sanggup lagi membiayai anak saya ke dokter. Mereka bilang terserah kau lah. Padahal, saya sudah memohon-mohon, karena saya khawatir sekali dengan kondisi Armansyah," ujarnya. Lapor polisi Oleh karena permintaan biaya untuk mengobati anak sulungnya itu ke dokter ditolak oleh keluarga Raju, maka Ani berinisiatif untuk melaporkan Raju ke polisi atas tuduhan penganiyaan. Namun, Ani mengaku, sebelum melapor ke polisi terlebih dahulu berkonsultasi kepada kepala desanya untuk menyelesaikan masalah tersebut. "Kepala desa memang tidak menyarankan saya untuk melapor ke polisi. Tetapi, saya pikir, karena tidak ada cara lain lagi, maka saya melaporkan Raju kepada polisi. Saya hanya meminta, agar anak saya dibawa berobat ke dokter, bukan meminta uang," katanya. Pada tahap penyidikan, Ani maupun Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Langkat, AKBP Anang S. Hidayat, mengatakan bahwa telah dua kali mencoba menempuh perdamaian dengan pihak keluarga Raju, yakni pada 10 Oktober 2005 dan 27 Oktober 2005. Dengan difasilitasi kepala desa setempat, Syamsir Siregar, dan pihak kepolisian, kedua keluarga tersebut dipertemukan untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. "Namun, pihak keluarga Raju tidak mau berdamai. Justru, mereka mengatakan, agar laporan itu segera diselesaikan dan dilimpahkan kepada jaksa. Sugianto, ayah Raju, bahkan mengatakan biar pengadilan yang menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar," kata Kapolres Langkat. Pada pemeriksaan di tingkat kepolisian, Raju didampingi oleh Saedah, yang juga ikut menandatangi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tertanggal 3 November 2005, seperti yang ditunjukkan oleh Anang. Bahkan, menurut dia, polisi juga telah meminta pendapat dari Balai Pemasyarakatan Anak (BAPAS) untuk meneliti, apakah Raju layak untuk diajukan ke persidangan. Anang pun memperlihatkan surat dari BAPAS, yang ditandatangi oleh Karmin Silalahi sebagai peneliti kemasyarakatan anak, pada intinya menyatakan Raju layak untuk disidangkan. "Jadi, tidak benar kami melanjutkan kasus Raju tanpa pertimbangan BAPAS. Begitu juga dengan pemeriksaan terhadap Raju yang diberitakan tanpa didampingi siapa pun, karena ibunya selalu mendampinginya," jelas Anang. Simpang siur kasus Raju bertambah runyam setelah muncul berbagai versi tanggal lahir bocah itu. Sampai saat ini, setidaknya ada tiga versi tanggal kelahiran Raju. Dalam BAP, Raju yang didampingi ibunya menyebut Mei 1997, sehingga saat kejadian perkara Raju berumur 8 tahun tiga bulan. Sedangkan, Raju dalam Kartu Keluarga yang dikeluarkan pada 4 Februari 2004 tercatat lahir pada 9 Desember 1997, sehingga saat kejadian perkara ia baru berumur 7 tahun 8 bulan. Tanggal kelahiran itu pun diperkuat oleh kesaksian bidan Hamsiah yang menolong kelahiran Raju melalui surat pernyataan tertanggal 25 Februari 2005. Setelah ramai pemberitaan tentang pengadilan Raju yang dinilai di bawah umur, pihak polisi dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) berupaya mencari bukti baru dari pihak sekolah. Berdasarkan buku raport Muhammad Azwar alias, yang dikeluarkan Sekolah Dasar (SD) Negeri 056633 Gang Mangga, Kabupaten Langkat, dinyatakan bahwa anak itu lahir pada 5 Desember 1996. Bukti baru itu diajukan JPU pada persidangan kesembilan 15 Februari 2006. Berkas perkara Raju pun dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Langkat pada 21 November 2005. Sidang pertama Persidangan pertama Raju di Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, pada 26 Desember 2005. Raju maupun orangtuanya tidak menghadiri persidangan tersebut. Begitu pula pada persidangan kedua dan ketiga, sehingga JPU AP Frianto Naibaho mengatakan Raju dan keluarganya telah dipanggil, namun tidak datang tanpa alasan yang jelas. Saedah mengatakan, surat panggilan pengadilan datang dua hari setelah Raju dan keluarganya berada di Banda Aceh untuk menghadiri acara keluarga, sehingga ketidakhadiran Raju di persidangan bukanlah suatu kesengajaan. Baru pada sidang keempat 12 Januari 2005, Raju bisa disidangkan untuk pertama kalinya. Menurut hakim Tiurmaida, yang sering disapa dengan nama Tiur, pada persidangan itu ia berupaya untuk mendamaikan kedua keluarga. Namun, Tiur mengatakan, keluarga Raju menolak. Bahkan, ia mengutip kalimat Saedah: "Ini namanya pemerasan, karena dia minta ganti rugi untuk biaya berobat." Pada persidangan itu, Tiur mengatakan, keluarga Raju juga tidak kooperatif dan menunjukkan sikap yang kurang menghargai persidangan, bahkan membuat gaduh di ruang sidang. Pada persidangan berikutnya, 19 Januari 2006, Tiur menetapkan penahanan terhadap Raju dengan alasan tidak hadir di persidangan sebanyak dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, dan keluarga Raju dianggap tidak beritikad baik, bahkan mempersulit proses persidangan. Tiur juga berpendapat, keluarga terdakwa tidak memperhatikan kepentingan dan tidak mempertimbangkan keadilan dari pihak keluarga korban, Armansyah. Hakim berumur 31 tahun itu juga berpendapat, ulah Raju bukanlah kenakalan anak biasa, karena melihat luka korban berdasarkan hasil visum yang dinyatakan cukup serius. Namun, Tiur mengatakan, penahanan itu tidak pernah dijalani Raju sepenuhnya. Bahkan, ia menyatakan, pada sidang selanjutnya pada 26 Januari 2006 sempat bertanya kepada Raju mengenai keberadaannya selama satu minggu sejak penetapan penahanan 19 Januari 2006, dan dijawab oleh bocah itu: "Di rumah." Teman satu kelas Raju, Fajar, yang memberi kesaksian di pengadilan juga menyatakan bahwa Raju bersekolah selama masa penahanannya. Keterangan tersebut diakui oleh Saedah. Menurut dia, Raju hanya berada selama setengah hari di sel tahanan bersama tahanan dewasa, sejak dibawa dari pengadilan ke Rumah Tahanan (Rutan) Negara Kelas IIB Pangkalan Brandan, Sumatera Utara. Menurut Saedah, Raju bisa dikeluarkan dari ruang tahanan atas kebijakan Kepala Rutan Pangkalan Brandan, Sudjono Evi, yang tidak setuju dengan adanya anak kecil di dalam sel tahanan dewasa. Sudjono dalam suratnya kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Depkumham) Sumatera Utara tertanggal 22 Februari 2006 menyatakan, Raju tidak pernah berada dalam tahanan, karena masih di bawah umur, dan tidak ada ruang khusus tahanan untuk anak-anak, meskipun beberapa kali dimintakan secara lisan melalui telepon oleh pihak pengadilan dan kejaksaan. Ketua PN Langkat, Syamsul Basri, membantah bahwa dirinya berkali-kali meminta, agar Raju ditahan. "Saya hanya satu kali menelpon Ka Rutan untuk menanyakan keberadaan anak itu, dan dijawab di luar sel. Saya bilang, ya sudah," ujarnya. Perdamaian akhirnya tercapai pada 28 Januari 2006, setelah ada penetapan penahanan terhadap Raju. Keluarga Raju menyerahkan Rp1 juta kepada keluarga Armansyah. Setelah perdamaian itu, Tiur kemudian mengeluarkan surat penangguhan penahanan pada 15 Februari 2006. Pada persidangan kesembilan 15 Februari 2006, persidangan Raju mengalami kegaduhan. Kuasa hukum Raju, Jonathan Panggabean, bersikukuh meminta hakim menghentikan persidangan lantaran alasan salah penerapan hukumnya, karena Raju masih di bawah umur saat diajukan ke pengadilan, yakni tujuh tahun delapan bulan. Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak, antara lain termaktub bahwa "anak nakal yang diajukan ke persidangan harus berumur minimal delapan tahun hingga 18 tahun". Pada saat itu juga, JPU mengajukan bukti baru berupa data kelahiran baru yang diperoleh dari sekolah Raju, yakni pada 5 Desember 1996, sehingga Raju telah berumur sembilan tahun saat diajukan ke pengadilan. Setelah permintaan penghentian sidang ditolak oleh hakim, Jonathan membawa Raju keluar dari persidangan sebelum persidangan ditutup. Hakim memerintahkan JPU untuk membawa kembali Raju ke ruang sidang, sehingga terjadi saling tarik menarik antara Jonathan dan JPU. Setelah terdakwa di bawa kembali ke ruang sidang, JPU dan penasehat hukum membuat kegaduhan di luar sidang, yang didukung oleh keluarga dan massa yang dibawa oleh keluarga Raju. Saat kegaduhan itu, menurut Tiur, Jonathan mengeluarkan kata-kata "pengadilan sesat, hakim sesat, pengadilan lontong, hakim lontong". Bahkan, Tiur mengatakan, Jonathan sempat melontarkan kata-kata kotor yang ditujukan kepadanya. Meski tidak mendengar sendiri, Tiur mengatakan, ucapan Jonathan itu terdengar jelas oleh JPU, beberapa petugas pengadilan dan wartawan yang meliput persidangan. Tiur kemudian melaporkan ulah Jonathan tersebut kepada Polres Langkat atas tuduhan penghinaan terhadap institusi pengadilan dan hakim secara pribadi. Kapolres Langkat, AKBP Anang Hidayat mengatakan, pihaknya telah menindaklanjuti laporan Tiur, dan telah memeriksa beberapa saksi yang membenarkan ucapan Jonathan tersebut. Thomson Purba, wartawan yang meliput persidangan adalah salah satu yang memberi kesaksian di kepolisian. Selain ucapan Jonathan, Thomson juga memberi kesaksian tentang asal muasal foto Raju yang sedang berada di sel tahanan bersama orang dewasa yang kini telah beredar di media massa. Menurut Thomson, adalah Jonathan yang membuat sendiri foto tersebut. "Jonathan yang menarik Raju ke dalam sel tahanan di pengadilan, menutup pintunya, lalu memotretnya dari luar," katanya. Padahal, menurut Thomson maupun Tiur, Raju tidak pernah berada di dalam sel tahanan selama menunggu persidangan di pengadilan. Foto yang beredar di media massa itu memang menunjukkan lokasi pemotretan di sel tahanan pengadilan, bukan di Rutan Pangkalan Brandan. Anang Hidayat belum mau berkomentar tentang keterangan Thomson tersebut. "Memang ada dugaan seperti itu, tapi masih dalam penyelidikan kami,"ujarnya. Ia mengatakan, sudah memanggil Jonathan untuk diminta keterangan sebagai tersangka, namun pengacara yang juga aktivis Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Sumatera Utara itu menolak datang. Hal itu diakui oleh Jonathan. Ia beranggapan, polisi sebenarnya tidak perlu menanggapi laporan Tiur. "Seharusnya, kalaupun itu termasuk penghinaan pengadilan, yang berwenang memeriksa saya itu Dewan Kehormatan IKADIN. Hakim telah melakukan kriminalisasi profesi advokat," ujarnya. IKADIN yang dimaksudnya adalah Ikatan Advokat Indonesia. Ia membantah telah mengeluarkan kata-kata tidak pantas yang ditujukan kepada hakim. Jonathan juga membantah telah membuat sendiri foto Raju di dalam sel tahanan pengadilan. Walhasil, kasus Raju kini semakin berkembang lebih dari sekedar perdebatan penahanan dan persidangan anak di bawah umur yang menarik perhatian banyak pihak dari seantero negeri. Padahal, semuanya hanya berawal dari permintaan untuk berobat ke dokter yang ditolak. (*)

Pewarta: Oleh Diah Novianti
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006