Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada Deendarlianto menyampaikan pemerintah perlu memperkuat kemampuan industri manufaktur lokal selama program transisi energi berlangsung agar Indonesia tidak terjebak dalam jaring impor teknologi energi baru terbarukan.

"Menuju transisi ini yang dipersiapkan adalah kemampuan industri kita, kemampuan sosial masyarakat kita dalam menerima energi baru terbarukan, kemudian dibarengi dengan aturan-aturan yang mendukung ke sana," ujarnya dalam pernyataan yang dikutip di Jakarta, Rabu.

Deendarlianto menjelaskan penguatan industri manufaktur lokal mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional yang sejalan dengan arah pembangunan ekonomi hijau. Dengan begitu, transisi energi akan mudah dilakukan karena ketersediaan komponen yang sesuai dengan potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh masing-masing daerah untuk menunjang pemanfaatan energi baru terbarukan selama proses transisi tersebut.

Ia mencontohkan terkait pengembangan energi surya di mana selama ini Indonesia lebih banyak industri perakitan, bukan industri produksi sel surya. Sementara itu, energi surya merupakan sumber setrum bersih yang pemerintah dorong untuk meningkatkan porsi energi baru terbarukan di dalam negeri.

"Sekarang level kita naikkan, cell dibuat di sini, siapa pun investornya silahkan agar menambah jumlah tenaga kerja yang diserap, menambah jumlah pembayar pajak, dan produksi bertambah. Itu bagus sekali," kata Deendarlianto menjelaskan.

Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa inti dari kerangka perubahan iklim melalui program transisi energi bukan hanya sekedar menurunkan emisi karbon yang dapat menimbulkan pemanasan global, tetapi di balik itu pemerintah perlu menumbuhkan industri-industri manufaktur di dalam negeri.

"Jangan sampai transisi energi meningkatkan impor kita terhadap teknologi energi baru terbarukan," kata Deendarlianto menandaskan.

Transisi energi merupakan strategi panjang dunia dalam menekan emisi gas rumah kaca untuk mencapai target netralitas karbon demi menyelamatkan planet bumi dari perubahan iklim yang berdampak terhadap pola cuaca dan mengganggu keseimbangan alam.

Indonesia mencanangkan target netralitas karbon pada tahun 2060. Sementara negara-negara lainnya ada yang di tahun 2050 atau 2070 lantaran target itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing negara.

Dalam peta jalan transisi energi, Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Hingga akhir 2021, bauran energi terbarukan tercatat baru menyentuh angka 11,7 persen dengan total kapasitas listrik saat itu mencapai 74 gigawatt.

Setelah 2030, tambahan pembangkit listrik hanya bersumber dari pembangkit energi terbarukan. Mulai 2035, pembangkit listrik akan didominasi oleh energi terbarukan variabel dalam bentuk tenaga surya, lalu diikuti tenaga angin dan arus laut pada tahun berikutnya.

Kemudian pembangkit tenaga nuklir akan masuk ke dalam sistem kelistrikan mulai 2049. Hidrogen dan baterai juga akan dimanfaatkan secara gradual atau berangsur-angsur mulai 2031 dan secara masif pada 2051 hingga 2060.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022