Semarang (ANTARA News) - Tak ada petir tak ada mendung, pada Kamis siang  24 November, langit cerah dengan terik matahari menyengat, tiba-tiba sekelompok orang datang menyergap dan menangkap tangan dua anggota DPRD Kota Semarang di halaman kantor DPRD kota setempat.

Tak berakhir di situ, sorenya Sekretaris Daerah Kota Semarang Akhmat Zaenuri juga ikut ditangkap.

Ini bukan adegan kejutan "April Mop" atau adegan sinetron, tetapi betul-betul aksi penangkapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Terkejut dan kegemparan pun melanda lingkungan DPRD dan Pemerintahan Kota Semarang.

Berdasarkan reka ulang pada 12 Desember, anggota Badan Anggaran DPRD dari Fraksi PAN Agung Purno Sarjono keluar dari ruang Sekda Kota Semarang Akhmat Zaenuri membawa sebanyak 26 amplop putih dengan tiap-tiap amplop berisi Rp1 juta hingga Rp2 juta dengan total uang Rp40 juta.

Puluhan amplop tersebut diduga sebagai uang muka untuk meloloskan anggaran Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) di lingkungan Pemkot Semarang yang nominalnya mencapai Rp100 miliar.

Agung langsung masuk ke dalam mobil dinas plat merahnya H 95 A dan di dalam mobil tersebut, Agung menelpon anggota Badan Anggaran DPRD yang lain, Sumartono dari Fraksi Partai Demokrat yang tengah mengikuti rapat di ruang paripurna mengenai anggaran TPP.

Sumartono langsung menyusul Agung ke mobil dan menghitung jumlah amplop. Dari 26 amplop tersebut, lima di antaranya sudah bertuliskan nama yang salah satunya bertuliskan nama Agung dan empat lainnya bertuliskan nama pimpinan dewan.

Di dalam mobil tersebut, Sumartono sempat menuliskan nama-nama anggota Badan Anggaran DPRD yang akan menerima bagian dari amplop putih tersebut. Setelah selesai, keduanya keluar dari mobil secara bergiliran dengan jalur berbeda menuju ke ruang rapat Badan Anggaran.

Akan tetapi, baru 10 meter berjalan, Agung sudah berpapasan petugas KPK yang lalu menangkapnya. Sementara Sumartono ditangkap di lobi gedung DPRD setempat.

Sementara Sekda Kota Semarang Akhmat Zaenuri ditangkap di ruang kerjanya setelah mengikuti rapat Badan Anggaran. Penangkapan dilakukan sore hari setelah Akhmat Zaenuri menjalani pemeriksaan di ruang kerjanya.

Reka ulang tidak hanya berlangsung di halaman Balai Kota Semarang tempat mobil Agung Purno Sarjono diparkir, tetapi juga di ruang Sekda dan di Hotel Novotel tempat pertemuan yang diduga membicarakan masalah rencana aksi penyuapan tersebut.

Pada saat reka ulang pertemuan di hotel yang tidak jauh dari kompleks Balai Kota Semarang tersebut, KPK menghadirkan sejumlah saksi dari pihak eksekutif dan legislatif termasuk Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan Aset Daerah.

Dua legislator Agung Purno Sarjono dan Sumartono kini mendekam di sel tahanan Mapolda Jateng, sedangkan tersangka Akhmat Zaenuri ditahan di sel tahanan Mapolrestabes Semarang dengan status tahanan titipan KPK.

Proses hukum pasca-penangkapan ketiga tersangka terus bergulir mulai dari pemeriksaan jajaran eksekutif maupun legislatif termasuk pemeriksaan terhadap enam anggota DPRD Kota Semarang dari Fraksi Partai Demokrat yakni Agung Prayitno, Fajar Adi Pamungkas, Novriadi, Wiwin Subiyono, Didik Marsudi, dan Zulkarnaini. Hasil pemeriksaan, penyidik KPK belum menetapkan tersangka baru dan masih sebatas saksi.

Sementara dari pihak eksekutif, tanggal 8 Desember, Wali Kota Semarang Soemarmo dan Wakil Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi menjalani pemeriksaan penyidik KPK di gedung serbaguna kompleks Akademi Kepolisian Semarang dengan kasus yang sama dugaan suap terkait pengesahan RAPBD 2012.

Wali Kota Semarang diperiksa sebagai saksi oleh penyidik KPK selama lima jam mulai pukul 13.00 WIB dan baru keluar dari ruangan pemeriksaan pada pukul 18.15 WIB. Pada hari yang sama dua dari tiga tersangka yakni Sekda Kota Semarang non-aktif Akhmat Zaenuri dan anggota DPRD setempat dari Fraksi Demokrat Sumartono juga diperiksa.

Belum usai kasus hukum yang berkaitan dengan KPK, lingkungan Pemkot Semarang kembali dikejutkan dengan keputusan Kejaksaan Negeri Semarang yang menetapkan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang, Fauzi sebagai tersangka terkait dugaan penyimpangan pengadaan mobil penyedot lumpur di Dinas Pengelolaaan Sumber Daya Air dan Energi Sumber Daya Mineral (PSDA dan ESDM) Kota Semarang tahun anggaran 2010.

Fauzi ditetapkan tersangka karena saat itu, dirinya menjabat Kepala dinas PSDA dan ESDM Kota Semarang.

Dalam pengadaan mobil sedot lumpur yang bertujuan untuk mengatasi pendangkalan di sejumlah saluran air yang ada di Kota Semarang itu ada dua pihak yang diduga terlibat.

Terjadi rekayasa saat proses lelang pengadaan mobil sedot lumpur yang dimenangkan oleh PT SBY dari Yogyakarta dan mengakibatkan kerugian keuangan negara hingga lebih dari Rp1 miliar.

Kasus dugaan penyimpangan pengadaan mobil sedot lumpur di Dinas PSDA dan ESDM Kota Semarang yang penyelidikannya ditangani Kejari Semarang sejak 9 November 2011 itu didanai APBD 2010 kota setempat dengan pagu anggaran Rp3,8 miliar.

Barang yang diserahkan pada akhir pengadaan tidak sesuai dengan spesifikasi yang sudah ditentukan dalam kontrak sehingga terdapat kemahalan harga. Selain pengadaan barang yang belum selesai 100 persen namun sudah diserahkan, spesifikasi barang di bawah ketentuan.

Jangan Sekadar Terkejut
Di awal bulan Desember, suasana di lingkungan Pemkot Semarang dan DPRD Kota Semarang masih dilingkupi aura pemeriksaan oleh KPK apakah sekadar sebagai saksi atau bisa berpotensi sebagai tersangka baru.

Para pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) tiba-tiba menjaga jarak dengan jurnalis setelah terungkap surat edaran yang menyebutkan SKPD diminta kontribusinya dan diduga untuk meloloskan pembahasan RAPBD Kota Semarang 2012.

Apalagi pemeriksaan terus bergulir di tingkat SKPD juga di kalangan anggota DPRD Kota Semarang.

Sementara itu, sejumlah elemen masyarakat tidak henti-hentinya menggelar demonstrasi sebagai bentuk kekecewaan atas tertangkapnya sekretaris daerah Pemkot Semarang, Akhmat Zaenuri dan dua anggota dewan Agung Purno Sarjono dan Sumartono.

Wali Kota Semarang, Soemarmo menyatakan siap mengundurkan diri jika dirinya terbukti melakukan korupsi dan pernyataan tersebut disampaikan setelah dirinya diminta menandatangani kontrak integritas yang disodorkan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Fisip Universitas Diponegoro.

"Kalau terjadi pada diri saya (korupsi), saya siap mengundurkan diri," kata Soemarmo saat dirinya usai menandatangani satu lembar kontrak integritas di atas materai.

Sekretaris Komite Penyelidikan Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) Jateng Eko Haryanto mengatakan bahwa penangkapan wakil rakyat dari pejabat elit di lingkungan eksekutif tersebut seharusnya tidak sekadar menyebabkan terapi kejut, tetapi juga sebagai pembelajaran.

Jangan sampai pemberantasan korupsi yang marak dilakukan sekarang ini dipandang sebelah mata hanya karena tidak ada efek jera bagi para koruptor dan mereka yang ingin melakukannya.

Oleh karena itu, tambah Eko Haryanto, tingginya putusan peradilan dan memiskinkan para koruptor perlu dilakukan agar para pejabat elit dan wakil rakyat memiliki rasa takut dan tidak melakukan korupsi.

"Kejaksaan juga harus menuntut dengan tuntutan maksimal agar putusannya juga dapat maksimal. Jadi harus ada sinergi, jangan sampai putusan hukumannya ringan," kata Eko.

Putusan yang tinggi dan memiskinkan para koruptor diharapkan dapat menumbuhkan rasa takut dari para pejabat elit dan para wakil rakyat.

Eko menambahkan hal lain yang perlu diwaspadai adalah waktu-waktu menjelang Pemilu 2014. Pemilu biasanya diwarnai dengan kegiatan mencari simpati, dan kegiatan itu harus mendapatkan perhatian khusus terutama pada wakil rakyat yang ingin menyalurkan anggaran bantuan sosial (bansos) dan pengadaan barang dan jasa.
(N008)

Oleh Nur Istibsaroh
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011