Jakarta (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Negeri Surabaya (UNESA) Ahmad Basri selaku Perwakilan Tim Penyusun Buku Menjerat Terorisme mengungkapkan bahwa tidak semua orang yang sudah terpapar paham radikal menjadi tertutup kepada masyarakat.

“Tidak mudah untuk melakukan deteksi siapa yang sudah terpapar paham radikal karena nyatanya tidak seperti pengetahuan kami. Tidak semua teroris itu tertutup dan tidak mau bersosialisasi,” kata Ahmad Basri.

Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika memberi paparan dalam seminar nasional bertajuk “Pencegahan Radikalisme-Terorisme dan 'Launching' Buku Menjerat Terorisme”, yang disiarkan di kanal YouTube Pusat Pembinaan Ideologi UNESA, dipantau dari Jakarta, Senin.

Baca juga: Densus 88 membina katib cegah paham radikal di Sumenep

Ahmad Basri mengisahkan bahwa awalnya, pihak penyusun buku berasumsi orang yang sudah terpapar radikalisme dan menjadi seorang teroris akan menjadi tertutup dan tidak mau bersosialisasi dengan masyarakat.

“Awalnya itu indikasi bahwa mereka terpapar,” tutur Ahmad.

Akan tetapi, setelah melakukan wawancara, pihaknya menemukan bahwa terdapat pelaku teror yang terkenal ramah dan sering berinteraksi dengan masyarakat yang berada di lingkungannya.

Baca juga: Eks napiter sebut rawan mendapat teror setelah 'kembali ke NKRI'

Bahkan, kata dia, warga yang sebelumnya berinteraksi dengan seorang pelaku teror berpandangan bahwa sosok tersebut merupakan sosok yang baik sebelum mengetahui keterlibatannya dengan aktivitas teror.

“Mereka menjadi orang yang baik di lingkungan masyarakat. Bahkan terkenal suka memberi jajan, memberi makanan, dan suka sedekah,” ucapnya.

Oleh karena itu, ujar dia, meskipun di dalam beberapa kasus para pelaku teror atau orang yang sudah terpapar ideologi radikal menjadi tertutup, hal tersebut tidak dapat menjadi satu-satunya indikasi karena sejumlah pelaku teror justru berperilaku baik di lingkungan mereka dan menunjukkan keakraban.

Baca juga: BNPT ajak pemuda ciptakan konten kreatif untuk cegah radikalisme

Ia mengungkapkan bahwa tidak semua anggota di dalam satu jaringan teror saling terhubung atau mengetahui satu sama lain. Berdasarkan wawancara yang ia lakukan, bahkan terdapat dua pelaku teror di dalam satu RT yang tidak saling mengenal dan tidak mengetahui satu sama lain.

“Setelah ikut wawancara, ternyata mereka itu tinggal di dalam satu RT tetapi mereka tidak tahu bahwa itu adalah kelompoknya atau jaringannya. Ini berkaitan dengan poin jaringan putus,” kata Ahmad Basri.

Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022