Jakarta (ANTARA) - Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Krisna Gupta, mengatakan implementasi neraca komoditas dapat meningkatkan efektivitas birokrasi perdagangan internasional Indonesia karena sistem ini terintegrasi dengan data dan proses perizinan sehingga  diharapkan dapat mengatasi berbagai masalah administrasi ekspor impor.

“Namun, jika tidak disertai dengan pemahaman soal kompleksitas rantai pasok, neraca komoditas bisa malah membawa masalah baru,” kata Krisna dalam keterangan resmi, Selasa.

Ia mengemukakan, sistem perizinan perdagangan Indonesia memiliki banyak masalah, antara lain proses yang panjang, kurangnya transparansi, dan kualitas data yang buruk.

Penggunaan neraca komoditas merupakan bagian dari implementasi UU Cipta Kerja 2020 yang bertujuan menghilangkan hambatan untuk investasi dan perdagangan.

Neraca komoditas adalah salah satu sistem database nasional yang berisi data informasi, serta gambaran sisi produksi dan sisi konsumsi secara komprehensif dan real-time dari beberapa komoditas ekspor-impor Indonesia. “Implementasi neraca komoditas akan memotong satu langkah dari proses perizinan dan mengurangi peluang korupsi. Sistem ini juga akan memudahkan proses transparansi dan berpotensi mengurangi celah korupsi,” tambah Krisna.

Namun, implementasi neraca komoditas dihadapkan pada banyak tantangan, seperti pengumpulan data konsumsi dan produksi di tingkat perusahaan, konsumen, produk, industri, dan nasional, serta belum adanya estimasi dan pemetaan dampak data ini pada rantai nilai industri dan jaringan produksi global.​​​​​​​

Krisna juga mengatakan, masih terdapat ketidaksepakatan antara kementerian yang mengumpulkan data terkait data mana yang harus digunakan.

Sejauh ini, neraca komoditas akan digunakan untuk melacak lima komoditas, yaitu beras, garam, gula, daging sapi, dan produk perikanan.

Penerapan kepada lebih banyak produk di 2023 pun diprediksi akan meningkatkan level kompleksitas penerapannya.

“Kita ambil contoh baja. Baja memiliki banyak karakteristik teknis yang sangat beragam dan seringkali didesain khusus untuk produk tertentu sehingga dampaknya akan sangat besar terhadap industri hilir andalan Indonesia seperti otomotif dan elektronika,” katanya.​​​​​​​

Kendati begitu, Krisna mengapresiasi inisiatif pengumpulan data yang lebih baik untuk mewujudkan basis data perdagangan Indonesia yang akan bermanfaat untuk analisis data dan studi berbasis bukti yang lebih baik dalam rangka penyusunan kebijakan, tapi penggunaan data tersebut secara terburu-buru berpotensi meningkatkan ketidakpastian dalam berusaha, terutama usaha industri yang terintegrasi dengan rantai pasok global.

“Seiring transformasi ekonomi Indonesia menuju ekonomi yang lebih kompleks, perdagangan internasional pun akan menjadi semakin kompleks. Kami berharap agar neraca komoditas tidak memberikan ilusi bahwa mengontrol industri dan perdagangan adalah sesuatu yang mudah dilakukan,” kata dia. 

Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022