industri farmasi di Indonesia berpikir lebih murah beli bahan baku impor daripada berinvestasi
Jakarta (ANTARA) - PT Bio Farma Persero membutuhkan waktu selama tujuh tahun memproses pengembangan 24 jenis bahan baku obat dalam negeri untuk diolah menjadi produk farmasi.

"Kalau dari target kita untuk merealisasikan 24 bahan baku obat dalam negeri sekitar tujuh tahun, sejak dimulai pada 2016," kata Direktur Utama PT Bio Farma Persero Honesti Basyir yang dikonfirmasi di Jakarta, Senin.

Hingga saat ini, kata Honesti, Bio Farma selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia yang berbisnis di bidang farmasi telah menggelontorkan dana investasi sekitar Rp150 miliar untuk mendirikan pabrik produksi bahan baku obat domestik.

Pemanfaatan dana investasi itu diperuntukkan membangun fasilitas produksi bahan baku obat di Delta Silicone 1 Lippo Cikarang, Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, yang kini dikelola oleh PT Kimia Farma Sungwun Pharmachopia.

Baca juga: Bio Farma minta industri kimia dasar bahan baku obat diperkuat
Baca juga: Kemenkes pangkas birokrasi izin pemanfaatan bahan baku obat domestik

Dari total luas lahan 12 hektare di kawasan itu, sebagian telah berdiri fasilitas produksi bahan baku obat dalam negeri berupa povidone iodine sebagai bahan baku produk cairan pembersih luka antiseptik atau yang umum dikenal dengan nama obat merah.

Povidone iodine sebelumnya didatangkan oleh industri farmasi domestik dari China untuk kebutuhan produksi di dalam negeri menjadi produk Betadine dan sejenisnya.

Menurut Honesti sebanyak 12 dari total 24 bahan baku obat dalam negeri, saat ini telah berhasil diproduksi Bio Farma untuk kebutuhan farmasi di dalam negeri.

Sebanyak 24 bahan baku obat dalam negeri yang dikembangkan Bio Farma di antaranya Simvastatin, Atorvastatin, Clopidogrel, Efavirenz dan Entecavir.

"Area produksi ada 12 hektare untuk kami bikin 24 bahan baku obat, 12 di antaranya sudah selesai menggunakan bahan baku dalam negeri sesuai dengan prioritas kebutuhan katalog elektronik pemerintah," katanya.

Katalog elektronik tersebut merupakan media pemasaran produk farmasi yang dibeli oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk memasok obat-obatan ke seluruh fasilitas pelayanan kesehatan dalam negeri.

Baca juga: Indonesia sudah lepas dari ketergantungan impor bahan baku obat merah
Baca juga: Menkes ingin 50 persen bahan baku obat tersedia di dalam negeri

Honesti mengatakan pengembangan fasilitas produksi 24 bahan baku obat dalam negeri yang ditargetkan rampung dalam tujuh tahun, sempat terkendala oleh situasi pandemi COVID-19. "Tapi kan ada pandemi, kami dorong terus. Komitmen kami sudah berjalan sejak awal, tidak mungkin kami mundur," katanya.

Honesti berharap, peran Bio Farma dalam pengembangan 24 jenis bahan baku tersebut dapat menekan angka ketergantungan impor Indonesia yang saat ini masih berada di kisaran 90 persen lebih.

"Kenapa bahan baku obat Indonesia 90 persen lebih masih impor, karena industri farmasi di Indonesia berpikir lebih murah beli bahan baku impor daripada berinvestasi dalam negeri," katanya.

Baca juga: Pengamat: Pabrik bahan baku obat penting wujudkan ketahanan kesehatan

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022