Bogor, (ANTARA News) - Puluhan pegiat FOKSI (Forum Konservasi Satwa Liar Indonesia), sebuah wadah berhimpunnya berbagai elemen yang 80 persen berasal dari kalangan pers peduli pada persoalan konservasi satwaliar, sejak Sabtu (4/3) malam hingga Minggu pagi, merayakan rangkaian HUT VIII forum tersebut di ketinggian 1.784,5 meter, kawasan lereng Gunung Pangrango, perbatasan Kabupaten Bogor-Cianjur. ANTARA dari lokasi kegiatan, Minggu (5/3) melaporkan, perayaan HUT ke-8 FOKSI tersebut juga diisi dengan diskusi mengenai terancam punahnya curik Bali (Leucopsar rotschildi) serta isu yang paling mendunia saat ini yakni wabah flu burung (Avian influenza). Terkait dengan populasi burung Jalak (Curik) Bali (Leucopsar rothschildi) di alam, yakni di Taman Nasional Bali Barat (TNBB) kini dilaporkan dalam posisi pada titik menuju kepunahan, terlebih bila tidak ada upaya-upaya segera untuk menyelamatkannya. "Angkanya berkisar antara lima hingga enam ekor saja," kata Direktur KKH (Koservasi dan Keanekaragaman Hayati) Dephut, Adi Susmianto, sambil menambahkan bahwa angka tersebut memang bisa menjadi perdebatan. Karena itu, melalui keberadaan Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB), yang telah diresmikan oleh Menhut MS Kaban pada 21 Agustus 2005, diharapkan dapat bekerjasama dengan elemen lain guna mengembalikan habitat aslinya ke TNBB bila masih memungkinkan. Hadir pula dalam sesi diskusi tersebut Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Dephut, Arman Malolongan serta beberapa mitranya diantaranya Birdlife Indonesia, Wetland International- Indonesian Program, serta Koordinator Umum FOKSI, Tony Sumampau, dan peneliti Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB) Dr drh Retno D Seodjoedono, MS. APCB sendiri merupakan asosiasi yang beranggotakan pemerhati, penggemar, pakar, pelestari dan pecinta yang peduli terhadap kelestarian curik Bali (Leucopsar rotschildi). Sementara itu, berkaitan dengan isu fku burung, beberapa narasumber seperti Yus Rusilo Noor dari Wetland International Indonesian Program dan Dr drh Retno D Seodjoedono, MS dari FKH-IPB sepakat perlunya otoritas yang berwenang dapat memberikan sosialisasi yang proporsional kepada masyarakat. Alasannya, selama ini yang akhirnya diketahui masyarakat luas adalah sisi "menakutkan"-nya isu flu burung itu, sehingga diperlukan sebuah langkah sinergis dan strategis. Yus Rusilo Noor memberi rujukan pada India, yang juga mengalami isu yang sama, dimana data-data mengenai unggas yang dimusnahkan dan biaya yang dihabiskan untuk penangananan flu burung itu bisa diakses publik hanya dalam waktu dua hari saja. "Itu bisa menjadi contoh bagi kondisi yang sama di Indonesia," katanya. Sementara itu, salah satu pendiri FOKSI, Rudi Badil, yang juga Kepala Program FOKSI, dalam diskusi di Lereng Gunung Pangrango, kepada puluhan jurnalis muda lebih menekankan kilas-balik perjalanan panjang forum tersebut. "FOKSI adalah tempat yang tepat bagi para jurnalis untuk berdikusi dan mendapatkan informasi yang baik untuk isu-isu konservasi, dari sumber-sumber berkompeten," katanya. Karena itu, kata dia, bagi para jurnalis yang tertarik dengan isu-isu konservasi satwa liar, maka FOKSI menjadi wadah yang bisa dipakai untuk pendalaman-pendalaman atas masalah yang diminati.(*)

Copyright © ANTARA 2006