Yogyakarta (ANTARA) - Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Dr Oktiva Anggraini, meminta para orangtua mampu mengantisipasi potensi perundungan anak di media sosial.

"Orangtua harus hadir, cepat, dan sigap membantu mengatasi dan menyelamatkan perundungan di media sosial," kata dia, saat kegiatan pengabdian masyarakat di Kelurahan Prenggan, Kotagede, Yogyakarta, Selasa.

Perundungan di ranah dunia maya sebagai migrasi bentuk dari perundungan dunia nyata, ujar dia, amat membahayakan para remaja. Menurut dia, perundungan di dunia maya pada akhirnya bisa bermutasi lagi menjadi konflik dan kekerasan di dunia nyata.

Ia menuturkan para remaja korban perundungan di dunia siber yang tidak mau membuka kasusnya kepada keluarga maupun publik bisa berdampak serius pada mental mereka.

Baca juga: Kemen PPPA dorong perundungan anak di Tangsel ditangani secara diversi

"Efek mereka membiarkan kasus yang menimpa adalah derita pada diri remaja yang menjadi korban kejahatan tersebut. Situasi ini sesungguhnya bukan persoalan sederhana, sebaliknya ini situasi yang sangat sulit bagi mereka," ujar dia.

Menurut dia, ada tiga bentuk dampak yang biasanya dirasakan korban perundungan yakni dampak psikis, fisik, dan psikososial. Dampak psikis ringan, kata dia, seperti cemas, takut, sedangkan dampak berat seperti depresi dan keinginan untuk bunuh diri.

"Dampak fisik, sebagai rentetan dari psikis, penderita akan pusing, asam lambung naik, sulit tidur dan gangguan pencernaan. Dampak berikutnya bersifat psikososial, anak malas belajar, prestasi menurun bahkan enggan pergi ke sekolah karena merasa telah dikucilkan teman-temannya," ujar dia.

Baca juga: Keluarga korban perundungan kecewa kekerasan anaknya disebut konten

Karena itu, menurut dia, orang tua harus sigap ketika menghadapi anak sendiri maupun anak orang lain yang menjadi korban perundungan di media sosial seperti mendokumentasikan bukti perundungan dengan cara tangkapan layar, menyimpan pembicaraan, memblokir akun pelaku perundungan.

"Pada proses penyelamatan dan identifikasi kejadian itu, kita jangan membalas obrolan, lakukan saja menyembunyikan komentar yang sekiranya tidak pantas. Ketika pelaku perundungan teman sekolah, orang tua bisa bekerja sama dengan guru dan komite sekolah untuk mengatasi hal ini," kata dia.

Peran lain yang sangat penting, kata dia, orang tua harus membangkitkan kepercayaan diri anak korban perundungan siber agar mau kembali bersekolah dan bersemangat berprestasi seperti sebelumnya.

Baca juga: Korban perundungan anak di Makassar lapor polisi

Selain itu, orangtua juga perlu memberikan literasi media sosial kepada anak ketimbang melarang mereka menggunakan internet.

Dalam memainkan peran tersebut, ia menuturkan para orang tua perlu mempelajari UU Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak.

Mengutip data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2019, Oktavina menyebutkan, frekuensi tindak perundugan di media sosial masuk kategori masif.

Baca juga: Kemen PPPA dorong tindak lanjut kasus kekerasan siswa SD di Musi Rawas

Tercatat sebanyak 49 persen dari pengguna siber yang tercatat 150.000.000 lebih, mengalami perundungan. "Maknanya pengguna siber yang mengalami perundungan sangat banyak," kata dia.

Menurut dia, para korban cenderung mencari aman, dengan memilih diam, dan enggan melaporkan. "Dari 49 persen yang mengalami perundungan, sebanyak 37,5 persen memilih untuk membiarkan tindakan tersebut," ujar dia.

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2022