Kajian itu dilakukan untuk menghitung beban biaya penyakit sebagai dampak dari kandungan BPA yang turut berkontribusi dalam peningkatan biaya kesehatan.
Jakarta (ANTARA) - Kalangan akademisi dari berbagai latar belakang ilmu pengetahuan mengungkap bahaya zat kimia bisphenol A (BPA) pada kemasan air minum bagi kesehatan konsumen.

"Kebutuhan air minum per orang per hari diperkirakan mencapai 1.146 ml memiliki risiko tinggi, jika air minum yang dikonsumsi terpapar BPA," kata Dosen Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan UGM Diah Ayu Puspandari dalam agenda Sarasehan Regulasi Pelabelan BPA Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Hotel Shangri-La Jakarta, Selasa.

Diah mengatakan kontaminasi BPA berpotensi memicu risiko penyakit katastropik seperti infertilitas atau gangguan kesuburan, autis pada anak, gangguan metabolisme tubuh, hingga kanker.

Hasil kajian Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada mengungkap kejadian infertilitas berpotensi memicu kerugian materi yang tidak ditanggung dalam pendanaan BPJS Kesehatan.

"Infertilitas merupakan salah satu penyakit yang dipilih dalam kajian tersebut dengan mempertimbangkan besarnya biaya serta layanan. Infertilitas ini tidak masuk dalam paket manfaat BPJS Kesehatan, sehingga biaya pelayanan kesehatannya masih menjadi tanggungan pasien secara mandiri," katanya.

Kajian itu dilakukan untuk menghitung beban biaya penyakit sebagai dampak dari kandungan BPA yang turut berkontribusi dalam peningkatan biaya kesehatan.

Ia mengatakan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan, BPA berkontribusi 4,5 kali lebih besar memicu infertilitas.

Data tersebut kemudian digunakan untuk menghitung total beban biaya infertilitas terkait paparan BPA dalam AMDK galon, dengan perhitungan yang menghasilkan kisaran biaya perawatan antara Rp16 triliun hingga Rp30,6 triliun dalam satu siklus.

"Jumlah biaya yang cukup besar, dan tentunya menjadi beban masyarakat yang harus ditanggung secara mandiri. Di sisi lain infertilitas dalam tatanan masyarakat memiliki masalah dan menjadi beban sosial yang cukup kompleks," ujarnya.

Ahli Biomedik Farmasi dan Farmakologi dari Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Junaidi Khotib mengatakan kehadiran akademisi diharapkan mampu memberikan data berbasis saintifik untuk mendukung kebijakan pemerintah yang berpihak pada masyarakat luas.

"Kami terbuka dan mendorong penelitian yang bermanfaat. Ini bagian tugas kami menyediakan data berbasis sains untuk digunakan bagi dukungan kebijakan yang berpihak pada masyarakat demi kemajuan bangsa," katanya.

Dalam agenda yang sama, Kepala BPOM RI Penny K Lukito mengatakan kebijakan untuk mencantumkan label bahaya BPA pada kemasan air minum masih berproses setelah lebih dari setahun bergulir.

"Hari ini adalah forum yang benar-benar terbuka dan ini adalah dialog forum untuk kepentingan kita bersama," katanya.

Menurut Penny agenda sarasehan tersebut diharapkan bisa mengedukasi masyarakat tentang berbagai risiko yang dikaitkan dengan pencemaran BPA dalam kandungan air minum.

"Saintifik base-nya sudah jelas. Berbagai negara sudah menyampaikan respons dengan menurunkan standar, sudah lagi tidak menggunakan polikarbonat. Tapi kami merespons dengan level yang paling ringan dengan labeling BPA," katanya.

Kegiatan Sarasehan Regulasi Pelabelan BPA Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) juga dihadiri kalangan akademisi dan politisi di antaranya Pakar Kebijakan Publik dari UI Dr Riant Nugroho, Guru Besar IPB sekaligus pakar pangan Prof Dr Ir Dedi Fardiaz, perwakilan Komisi IX DPR RI Arzetti Bilbina dan Ratu Ngadu Bonu.
Baca juga: BPOM: Pelabelan BPA galon guna ulang bentuk perlindungan pemerintah
Baca juga: Pakar sebut kemasan galon solusi ramah lingkungan
Baca juga: Benarkah penggunaan galon air minum berulang berbahaya?

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2022