Jakarta (ANTARA) - Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) meminta pemerintah segera menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) atas meluasnya penyebaran penyakit mulut dan kuku (PMK) yang menyerang ternak di wilayah Indonesia.

Ketua Umum DPP PPSKI Nanang Purus Subendro di Jakarta, Rabu menyatakan, penyebaran PMK di Jawa sudah masif, tidak terkendali, dan menimbulkan kerugian yang luar biasa.

Data Kementerian Pertanian per 22 Mei 2022 menyebutkan, PMK telah menyebar di 16 provinsi dan 82 kabupaten/kota. Penyakit itu berdampak pada total 5.454.454 ekor dan 20.723 ekor sapi sakit.

"Situasinya sudah darurat, luar biasa. Sayangnya tindakan dari pemerintah masih sangat prosedural dan biasa saja," kata Nanang dalam Diskusi Publik di Jakarta, Rabu.

Dikatakannya, harga sapi yang terpaksa dipotong karena wabah PMK, saat ini sudah turun 40 hingga 50 persen. Bahkan, tambahnya, untuk sapi perah harganya jatuh lebih rendah dibanding harga daging sapi potong.

"Yang normalnya harga di atas Rp20 juta, ditawar Rp2 juta sampai 3 juta per ekor," katanya.

Menurut Nanang perlu adanya koordinasi secara terpusat untuk penanganan penyebaran PMK di Indonesia sehingga PPSKI mendorong terbentuknya kelembagaan Satuan Tugas (Satgas) penanganan PMK layaknya penanganan pemerintah saat pandemi Covid-19 atau wabah Flu Burung.

PPSKI juga meminta pemerintah untuk mempercepat proses pengadaan vaksinasi PMK terhadap hewan yang masih sehat dari kemungkinan tertular. Pemerintah perlu melakukan terobosan kebijakan untuk memanfaatkan waktu secara efektif dalam upaya pencegahan penyebaran wabah ini.

Selain itu, pihaknya meminta pemerintah agar menyediakan dana anggaran terkait upaya pencegahan dan penanganan wabah PMK, sebab wabah PMK kemungkinan semakin meluas dan penanganannya dapat berlangsung dalam waktu lama.

Dia mengungkapkan, dana anggaran tersebut dapat dialokasikan untuk operasional pengawasan lalu lintas ternak, tindakan pengobatan, bantuan supporting untuk para peternak yang terdampak PMK, tindakan ganti rugi jika terjadi pemusnahan, hingga permasalahan kredit KUR akibat ternaknya terkena PMK.

Terakhir, pemerintah didorong untuk melakukan stamping out dengan pemotongan bersyarat yang melibatkan Bulog untuk menampung daging sapi dari sapi korban penyakit PMK. Pemerintah juga diminta untuk memberhentikan importasi daging kerbau dari India.

Mantan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Sofyan Sudardjat menyatakan menurut Organisasi Kesehatan Hewan (OIE) terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi wabah PMK saat ini.

Pertama, stamping out atau pemusnahan massal. Jadi jika dalam satu kandang ada yang terkena, maka bukan hanya yang tertular yang dimusnahkan, tapi juga ternak yang berdekatan.

Kedua, vaksinasi, pengawasan lalu lintas, isolasi dan desinfektan. Dalam keadaan darurat vaksinasi bisa efektif jika berasal dari negara asal virus tersebut, karena homolog (serotip-nya hampir sama).

Lebih efektif lagi vaksin berasal dari produksi dalam negeri, virus diambil dari sapi yang tertular. Namun vaksin dalam negeri pun menurut Sofyan tidak bisa langsung digunakan. Untuk memproduksi vaksin paling tidak membutuhkan waktu 1 bulan, kemudian pengujian 2-3 bulan.

Ketiga, lanjutnya, cara depopulasi yakni sapi yang sakit dimusnahkan. Namun cara ini perlu ada kerjasama dengan instansi lain, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perhubungan, Polri dan pihak lain yang terkait.

“Lalu lintas ternak harus diawasi dan isolasi ternak yang diduga terkena dengan desinfektan. Tidak ada rumus dalam PMK, jika satu wilayah terkena, tetangganya bebas, karena virus bisa menular hingga 100 KM,” ujar Sofyan yang pernah menjadi Ketua Tim Nasional Pemberantasan PMK pada 1983.

Baca juga: Komisi IV minta Kementan tidak anggap enteng PMK

Baca juga: Kementan akan impor vaksin PMK 3 juta dosis pada minggu kedua Juni

Pewarta: Subagyo
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022