Jakarta (ANTARA) - Kurang dari dua pekan setelah kunjungan Presiden Amerika Serikat  Joe Biden ke Korea Selatan pada 20-22 Mei 2022, kedua negara menggelar latihan militer gabungan pada 4 Juni 2022 di perairan internasional Pulau Okinawa Jepang.

Gelaran latihan militer tersebut menjadi yang pertama kalinya sejak 2017 dengan melibatkan operasi pertahanan udara, anti-kapal, anti-kapal selam, dan operasi interdiksi maritim.

Militer AS menggunakan Kapal Induk USS Ronald Reagan bertenaga nuklir berbobot sekitar 100 ribu ton, kapal penjelajah berpeluru kendali USS Antietam, kapal perusak USS Benfold yang dilengkapi Aegis dan kapal minyak pengisian Armada USNS Big Horn. Sementara militer Korsel menerjunkan kapal pendarat amfibi Marado seberat 14.500 ton, kapal perusak Sejong the Great berbobot 7.600 ton dan kapal perusak Munmu the Great seberat 4.400 ton.

Kepala Staf Gabungan (Joint Chiefs of Staff/JCS) Korsel menyebut latihan militer itu bertujuan mengonsolidasikan aksi kedua negara dalam menanggapi setiap provokasi Korea Utara (Korut) sekaligus bentuk komitmen AS dalam memberikan deterensi tambahan.

Baca juga: Kunjungan Biden ke Jepang dan Korsel, peringatan buat China

Memang saat bertemu dengan Presiden Korsel Yoon Seok Yeol, Presiden Biden menegaskan bahwa AS memberikan komitmen kepada Korsel dapat memakai sepenuhnya kapabilitas pertahanan AS, termasuk kapal induk, pesawat pengebom jarak jauh, atau kapal selam rudal untuk menghalangi provokasi yang dilakukan Korea Utara.

Untuk "membalas" latihan militer tersebut, pada 5 Juni 2022 --sehari setelah latihan militer bersama AS-Korsel-- Korea Utara (Korut) diketahui meluncurkan 8 rudal balistik jarak pendek (Short-ranged Ballistic Missiles/SRBMs) ke arah Laut Timur.

Rudal Korut diluncurkan di empat lokasi, yakni sekitar Sunan di Pyongyang, Kaechong, Tongchan-ri, dan Hamhung. Rudal meluncur sejauh 110-670 KM pada ketinggian 25-90 kilometer dengan kecepatan 3-6 Mach. Rudal yang diluncurkan disinyalir termasuk rudal KN-23, Iskandar versi Korut yang memiliki kemampuan menghindari intersepsi.

Peluncuran tersebut merupakan peluncuran rudal terbanyak pada satu hari oleh Korut dan menandai peluncuran ke-18 sepanjang 2022 atau yang ketiga pascapelantikan Presiden Yoon Seok Yeol pada 10 Mei lalu. Artinya, tiga rudal terakhir diluncurkan hanya dalam waktu satu bulan.

Merespons tindakan provokatif Korut tersebut maka pada 6 Juni 2022, Korsel dan AS juga meluncurkan 8 rudal MGM-140 Army Tactical Missile System/ATACMS dari wilayah pantai timur Provinsi Gangwon pada pukul 04.45 waktu setempat selama sekitar 10 menit.

Respons ini menjadi kali kedua bagi Korsel dan AS untuk melakukan tindakan balasan terhadap Korut setelah sebelumnya menanggapi peluncuran rudal balistik antarbenua (ICBM) pada 25 Mei 2022 Korut dengan langkah yang sama. Kedua sekutu telah memperingatkan bahwa provokasi Korut akan direspons dengan reaksi yang keras.

Dalam pertemuan Presiden Biden dengan Presiden Yoon pada 20-22 Mei 2022 di Seoul, kedua pemimpin memang sepakat memulai diskusi untuk memperluas jangkauan dan skala latihan-latihan militer gabungan di area Semenanjung Korea. Selain itu, AS juga berminat membantu Korea Selatan dalam melawan serangan siber dari Korea Utara.

Presiden Joe Biden dan Presiden Yoon meminta agar semua anggota PBB mengikuti semua resolusi Dewan Keamanan PBB dan meminta Korut untuk mengikuti apa yang telah disepakati pada komitmen dan perjanjian. Kedua pemimpin juga menyebut masih membuka jalan dialog dan diplomasi untuk mencari solusi dengan Korut.

Jalan politik yang diambil oleh Presiden Biden maupun Presiden Yoon kontras dengan kebijakan yang diterapkan kedua pendahulu mereka yaitu Presiden Donal Trump dan Presiden Moon Jae In yang lebih "bersahabat" dengan Korut.

Memang dalam safari kunjungan ke Asia, fokus Presiden Biden adalah menggalang negara-negara demokrasi "sehaluan" untuk lebih bekerja sama dalam upaya menghadapi pengaruh China dan menekan Rusia atas perangnya di Ukraina.

Sedangkan Presiden Yoon telah mengisyaratkan akan mengambil sikap yang lebih keras terhadap Korut dibanding pendahulunya dan telah memperingatkan serangan pendahuluan jika ada tanda-tanda serangan Korut akan segera terjadi. Ia berjanji untuk memperkuat kemampuan persenjataan Korea Selatan.

Baca juga: Pemerintah baru Korsel pertimbangkan bergabung dengan pakta ekonomi AS

Arah perubahan

Bila di bawah kepemimpinan Presiden Moon Jae-in (2017-2022) Korsel menerapkan kebijakan "menoleh ke Selatan" dalam bentuk "New Southern Policy" (NSP) yaitu kebijakan yang menyasar peningkatan relasi kerja sama dengan negara-negara di Asia Tenggara dan India, maka pemerintahan Presiden Yoon mengambil arah berbeda.

Presiden Moon ingin Korsel menyeimbangkan kembali hubungan diplomatik dengan negara-negara Asia Tenggara dan India untuk membangun kemitraan dengan "middle power" di semua bidang kebijakan dan terlebih dulu untuk menjadikan negara-negara tersebut sebagai mitra diplomatik prioritas.

Namun di bawah kepemimpinan Presiden Yoon Seok Yeol arah politik luar negeri Korsel adalah "Global Pivotal State" yang mendorong kebebasan, perdamaian dan kesejahteraan Korsel.

"Titik awalnya termasuk dengan memperkuat 'South Korea-AS Strategic Alliance'. Presiden Yoon dan Presiden Biden sepakat memperkuat 'Global Strategic Alliance' yang setelah 69 tahun hubungan diplomatik harus menghadapi tantangan baru seperti denuklirisasi Korut, pandemi, sistem perdagangan global, perubahan iklim, maupun krisis demokrasi," kata Direktur ASEAN and Southeast Asian Affairs Bureau Southeast Asia Division I Kementerian Luar Negeri Korsel Yoosil Hwang di Seoul pada 31 Mei 2022.

Hal tersebut disampaikan saat menerima kunjungan "The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea" yaitu program bentukan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation yang diikuti oleh 9 jurnalis asal Indonesia.

Sedangkan untuk hubungan dengan negara-negara di Asia Timur seperti Jepang dan China, Korsel tetap menjaga kerja sama yang sehat dan matang serta berwawasan masa depan dengan mendepankan saling menghormati antarmitra.

"Untuk kebijakan 'New Southern Policy' kemungkinan namanya akan berubah tapi elemen-elemen kuncinya tetap sama dengan pemerintahan Presiden Moon, karena Korsel masih melihat ASEAN sebagai mitra yang penting dengan fokus kerja sama di bidang kesehatan, kebebasan berpendapat dan demokrasi," kata Director for Policy Planning Kementerian Luar Negeri Korsel Park Chi Young dalam acara yang sama.

Menurut Park, pemerintahan Presiden Yoon tetap melihat negara anggota ASEAN sebagai mitra penting bagi Korsel di kawasan Indo-Pasifik.

Apalagi Indonesia-Korsel diketahui telah memiliki komitmen "Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership" (IK-CEPA) dengan tiga pilar utama yaitu akses pasar perdagangan barang dan jasa, fasilitasi perdagangan dan investasi, serta kerja sama dan "capacity building" yang diinisiasi sejak 2012 dan ditandatangani secara resmi pada 18 Desember 2020.

"Relasi bilateral Korsel dan Indonesia tetap fokus pada isu demokrasi maupun kebebasan serta penegakan HAM," tambah Park.

Senada dengan Kementerian Luar Negeri Korsel, Kepala Pusat ASEAN-India Studies at the Korea National Diplomatic Academy (KNDA) Choe Wongi dalam wawancara dengan The Korea Herald menyebut bahwa pendirian utama Presiden Yoon adalah mempertahankan aliansi Indonesia-Korsel sebagai poros politik luar negeri Korsel.

"Presiden Yoon telah berjanji untuk menghadirkan kawasan Indo-Pasifik yang 'bebas, terbuka dan inklusif' melalui kerja sama dengan AS dan menekankan tanggung jawab Korsel selaku negara dengan ekonomi terbesar ke-10 di dunia," kata Choe.

Namun apa yang masih belum jelas menurut Choe adalah sejauh apa dan pada level apa Presiden Yoon akan mengimplementasikan komitmennya dalam kebijakan nyata terutama di kawasan Indo-Pasifik terkait hubungan dengan AS, kerja sama trilateral Korsel-AS-Jepang dan relasi di negara anggota Quad yaitu AS, Jepang, Australia dan India.

"Tampaknya pemerintah Yoon akan lebih aktif menjaga keamanan kawasan sekaligus memperluas peran Korsel di Indo-Pasifik. Terkait hubungan dengan China, Presiden Yoon akan mengambil langkah lebih tegas baik dalam kerja sama regional maupun bilateral dibanding dengan Presiden Moon yang lebih "ambigu". Contohnya, Presiden Yoon lebih akan membuat pernyataan tegas terkait keamanan maritim di Indo Pasifik khususnya di Laut China Selatan," jelas Choe.

Dampak ke Indonesia

Terkait dampak perubahan arah politik luar negeri Korsel terhadap Indonesia, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Indonesia untuk Korsel Gandi Sulistiyanto Suherman menyebut Korsel sudah terikat perjanjian kerja sama dengan Indonesia.
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Indonesia untuk Korea Selatan Gandi Sulistiyanto Suherman saat menerima kunjungan "The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea" di KBRI Seoul pada Senin (30/5/2022). (ANTARA/Desca Lidya Natalia)


"Yang pasti kedatangan Presiden Biden kemarin adalah promosi tentang IPEF yaitu Indo-Pacific Economic forum, di mana Indonesia juga ikut berpartisipasi. Tapi IPEF ini hanya forum, tidak ada 'legal binding', tidak ada seperti yang sudah ada dengan Indonesia yaitu IK-CEPA yang 'legal binding," kata Gandi Sulistiyanto yang biasa disapa Sulis tersebut.

Menurut Sulis, IPEF bersifat forum, artinya ada 13 negara yang berupaya untuk meningkatkan kerja sama ekonomi namun hasilnya juga belum terlihat banyak.

"IPEF masih memerlukan banyak info tambahan dari Amerika selaku inisiator dan kita belum tahu apakah ini akan menguntungkan secara 'win win', dari waktu ke waktu kita harus melaporkan ke Jakarta mengenai dampaknya," tambah Sulis.

IPEF diluncurkan pada 23 Mei 2022 dengan 13 negara mitra pada tahap awal yaitu AS, Australia, Brunei Darussalam, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam yang mewakili 40 persen dari produk domestik bruto (PDB) dunia.

IPEF diharapkan dapat mewujudkan ekonomi yang lebih kuat, lebih adil, lebih tangguh bagi para keluarga, pekerja, dan kalangan pebisnis di AS dan kawasan Indo-Pasifik. Forum ini memungkinkan AS dan negara-negara mitra untuk menentukan aturan main yang akan memastikan para pekerja, usaha kecil, serta petani Amerika bisa bersaing di Indo-Pasifik.

Investasi langsung AS di kawasan Indo-Pasifik mencapai lebih dari 969 miliar dolar (sekitar Rp14,21 kuadriliun) pada 2020, dan telah meningkat hampir dua kali lipat dalam satu dekade terakhir.

Dengan jumlah penduduk mencapai 60 persen dari populasi dunia, Indo-Pasifik diproyeksikan menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan global selama 30 tahun ke depan.

Akhirnya butuh kerja sama negara-negara di kawasan agar dapat menjaga kawasan Indo-Pasifik tetap kondusif dan dapat segera pulih pascapandemi COVID-19, apa pun kerangka politik luar negeri yang diambil.

Baca juga: 'Balas' uji coba Korut, Korsel dan AS luncurkan delapan rudal
Baca juga: Pesan Biden ke Kim Jong Un: "halo... titik"

Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2022