Lombok Barat (ANTARA) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengimbau agar kekerasan terhadap kelompok minoritas, terlebih kekerasan yang mengatasnamakan agama, dihentikan.

"Kekerasan harus dihentikan. Tidak ada kekerasan dalam agama dan tidak ada agama dalam kekerasan," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj saat menyampaikan tausyiah dalam acara istighotsah dan tabligh akbar di pendopo Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Kamis.

Ditegaskannya, perbedaan aliran, bahkan keyakinan, tidak boleh dijadikan alasan pembenar bagi tindakan kekerasan terhadap pihak yang lain, sesama warga negara.

"Tidak boleh main keras hanya karena beda aqidah," tandas alumni Universitas Ummul Qura, Mekkah itu.
      
Said Aqil juga menegaskan agar tidak ada lagi peristiwa pengusiran terhadap kelompok minoritas oleh kelompok mayoritas hanya karena perbedaan keyakinan.

"Di dalam Islam, hak atas properti dihormati. Tidak boleh orang diusir dari tempat tinggalnya, apalagi selama ini mereka memenuhi kewajibannya seperti warga negara yang lain," kata Said Aqil.
      
Oleh karena itu, PBNU berharap jika masih ada kelompok minoritas yang terusir dari tempat tinggal dan lingkungannya, dikembalikan lagi ke tempat tinggalnya.

PBNU juga meminta pemerintah pusat dan daerah lebih bersungguh-sungguh menjamin kebebasan berkeyakinan warga negara sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Kepada anak-anak muda NU, khususnya anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser), Said Aqil melarang keras mereka untuk turut ambil bagian dalam aksi kekerasan.

"Anak-anak Ansor jangan sekali-sekali bertindak sendiri. Membantu pengamanan boleh, tapi sifatnya membantu aparat keamanan," katanya.

Khusus terkait kelompok Ahmadiyah, Said Aqil kembali menegaskan bahwa secara aqidah ia tidak bisa membenarkan, namun ia tetap menghormati mereka sebagai sesama warga negara.

"Ini sesuai ajaran NU yakni tasamuh (toleran), tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan I'tidal (adil dalam bersikap)," katanya.

Seperti diberitakan saat ini ratusan jemaat Ahmadiyah yang terusir dari tempat tinggal mereka di Lombok Barat masih tinggal di asrama pengungsian, Transito Mataram.

Mereka terusir sejak 2006 silam dengan meninggalkan asset berupa tanah dan bangunan di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat.

(S024)

Pewarta: Suryanto
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2012