Ini rahasia Tuhan, kalau meramal sama halnya kita membuka rahasia Tuhan"
Pontianak (ANTARA News) - Pergantian tahun biasanya diiringi dengan keinginan mengetahui peruntungan, nasib dan rezeki. Ini juga terjadi pada pergantian tahun Imlek dari 2562 ke 2563.

Penanggalan Imlek adalah penanggalan berdasarkan peredaran bulan dan dimulai sejak kelahiran Nabi Khong Hu Cu atau Kongcu pada 551 Sebelum Masehi.  Jadi, lebih tua dari Kalender Masehi dan Hijriah.

Jumlah hari dalam sebulan menurut penanggalan Imlek, berkisar 28 - 29 hari. Maka dari itu, adakalanya jumlah bulan dalam setahun dalam kalender Imlek bisa 13 bulan.

Tahun ini, Imlek sudah memasuki ke-2563.

Dan pada tahun yang baru ini, banyak orang yang ingin mencari tahu apa yang akan dialaminya nanti. Tapi itu tak berlaku bagi Edwin The (32), warga Gang Waru, Kota Pontianak.

"Saya percaya, tetapi saya tidak mau melakukan itu," kata Edwin.

Dia memilih tidak ingin tahu nasibnya tahun nanti, karena jika tahu maka dia akan selalu dibayangi kekhawatiran menjalani hidup ke depan. "Biarkan hidup kita jalani apa adanya," katanya mengumbar senyum.

Menurut pria berkaca mata minus itu, ramalan boleh saja dipercayai, tetapi orang tidak seharusnya pergi ke peramal setiap menjelang pergantian tahun.

"Menjalani hidup apa adanya tanpa tahu bagaimana nasib hidup kita ke depan, pasti lebih indah," kata pria dua anak itu.

Edwin yang sedang bersih-bersih mempersiapkan perayaan Imlek di kelenteng tidak jauh dari tempat tinggalnya, mengaku meski bekerja untuk orang lain, dia tidak berkecil hati.

Ia menyatakan menjalani hidup apa adanya tidaklah buruk, bagi dirinya maupun keluarga.

Andrew Yuen (31), aktivisTaruna Merah Putih (organisasi sayap PDIP) Kalimantan Barat, bahkan tidak pernah pergi ke peramal.

"Saya tidak percaya remalan. Hidup ini penuh kejutan kok," kata mahasiswa Universitas Tanjungpura itu.

Ia menyebut hidup harus dijalani dengan optimistis.  "Meski (Presiden) SBY prihatin dan keluh kesah melulu, tapi aku harus optimistis," katanya.

Yuen tidak mempercayai ramalan karena terbiasa hidup di lingkungan yang rasional.

Membuat resolusi

Sikap kedua orang itu ternyata sejalan dengan pandangan Ketua Majelis Tinggi Agama Khong Hu Cu Kalbar, Sutadi.

"Saya tidak mau menyarankan orang meramal. Khusus umat Khong Hu Cu, kita tidak bisa membuka rahasia alam yang kita tidak bisa ketahui. Ini rahasia Tuhan, kalau meramal sama halnya kita membuka rahasia Tuhan," paparnya.

Sutadi mengaku tak bisa melarang orang untuk meramal, tapi juga tidak menganjurkan orang untuk meramal.

Menurutnya, eorang yang bisa meramal harus menguasai 12 shio dan minimal menguasai Yi Jing 0---salah satu kitab suci Khong Hu Cu--, Kitab kejadian alam semesta yang di dalamnya menjelaskan Ying dan Yang.

"Jadi tidak gampang. Orang yang merapal (meramal) harus mempelajari kitab itu," katanya.

Sutadi sendiri mengartikan meramal dengan berdukun.

Meski tak menyetujui ramal meramal. Sutadi mengharapkan tahun shio Naga Air nanti akan baik-baik saja, tidak banyak musibah dan lebih baik dari tahun Kelinci Emas lalu.

Sementara bagi seorang Andrew Yuen, tibanya tahun baru membuatnya harus bekerja lebih keras lagi.

"Aku harus membuat resolusi di tahun Naga Air ini. Semangat harus aku lipatgandakan agar tetap bisa survive (bertahan)," katanya dengar suara agak meninggi.

Ia merasa harus optimistis menghadapi tahun baru. "Ini tahun vivere pericoloso . Tahun penuh tantangan," katanya.

Vivere pericoloso
adalah ungkapan dalam Bahasa Italia yang berarti hidup secara bahagia dan dipopulerkan di Indonesia oleh Bung Karno pada 1964.

Yuen berencana mengumpulkan uang dan mengurangi memikirkan kerja sosial. "Jangan seperti tahun ini, mengurus orang susah melulu," katanya.

Ia akan mengumpulkan modal untuk berinvestasi di bursa saham,sedangkan Andreas Acui Simanjaya akan mengisi 12 bulan perjalanan tahun Imlek 2563 dengan berinvestasi di perkebunan kelengkeng.

"Tahun ini sangat baik bagi saya untuk mendirikan kegiatan usaha baru dan saya berencana mengembangkan bisnis pembiayaan dan perkebunan buah," kata mantan anggota DPRD Kalbar periode 1999-2004 itu.

Acui menilai tahun yang baru ini menjanjikan dan sangat baik untuk membuat pondasi bagus bagi usaha sebagai persiapan menghadapi tahun-tahun mendatang.

Silaturahmi

Mengawali tahun 2563, Acui akan merekatkan kembali hubungan silaturahim dengan mengunjungi orang tuanya pada hari pertama Imlek, lalu berbagai pihak yang merayakannya.

"Momen Imlek selalu merupakan saatnya berkumpul dan berjumpa dengan keluarga, biasanya saudara yang tinggal di luar kota akan kembali ke kota asalnya," katanya.

Hal sama dilakukan Andrew Yuen dan Edwin.

"Kalau saya akan ke Sungai Kakap (Kabupaten Kubu Raya)," kata Edwin. Sedangkan Yuen, bersama keluarga akan ke Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak karena keluarga besar ibunya ada di kota kecamatan itu.

Imlek ternyata bukan hanya perayaan agama, namun juga perayaan tradisi bagi warga Tionghoa yang sudah memeluk agama lain seperti Budha, Katolik, Protestan dan Islam.

"Agama baru bisa diterima jika dapat beradaptasi dengan tradisi dan kebiasaan. Menurut umat Khong Hu Cu tetap hari raya, tapi bukan berarti milik mereka saja," kata Sutadi.

Saat tengah malam menjelang pergantian tahun Imlek, warga Tionghoa penganut Khong Hu Cu akan bersembahyang di kelenteng atau lithang (tempat kebaktian) yang menampung ribuan orang.

Umat Khong Hu Cu mulai bersembahyang secara terbuka di kelenteng pada 2006. Sebelumnya, mereka bersembahyang sembunyi-sembunyi karena dilarang pemerintah.

Untuk menyambut pergantian tahun Imlek, sejumlah barang yang berhubungan dengan perayaan itu disiapkan, diantaranya replika naga karena dalam kepercayaan orang Tionghoa, kelahiran Nabi Kong dikawal oleh dua naga.

Sejumlah hidangan sebagai ungkapan syukur kepada Shang Di (dibaca Shang Ti) atau Tuhan disiapkan. 

Mereka siapkan hewan yang adalah simbol baiknya hasil panen yang mengandung tiga unsur kehidupan; udara, darat dan air.  Kemudian, buah-buahan seperti jeruk besar dan apel yang berarti kebaikan.

"Simbol yang baik-baik itulah yang disiapkan saat menyambut Imlek," katanya.

N005/A025

Oleh Nurul Hayat
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2012