Jakarta (ANTARA News) - Penelitian yang dilakukan SETARA Institute menyimpulkan bahwa intoleransi yang diajarkan oleh kelompok Islam garis keras atau radikal adalah titik awal dari terorisme.

"Terdapat sejumlah irisan kesamaan antara kelompok radikal yang intoleran dengan kelompok teroris, di antaranya adalah dukungan terhadap penerapan syariat Islam, penentangan apa yang mereka pandang maksiat, dan pendirian negara Islam," kata wakil ketua SETARA Bonar Tigor Naipospos saat peluncuran hasil penelitian sekaligus seminar "Dari Radikalisme ke Terorisme, Memperluas Spektrum Deradikalisasi Dalam Mengokohkan Empat Pilar Kehidupan Berbangsa" di Jakarta, Rabu.

Kesamaan-kesamaan tersebut yang membuat Bonar berhipotesis bahwa kelompok Islam radikal memiliki potensi yang cukup besar untuk bertransformasi menjadi kelompok teroris.

Hipotesis itu kemudian dibuktikan dalam penelitian kelompok radikal di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut, seorang anggota Jamaah Islamiyah Joko Jihad menjadi contoh (sampel) bagaimana individu intoleran menjadi anggota kelompok teroris. Sedangkan kasus "Ightiyalat", kelompok radikal di Klaten, menunjukkan bagaimana kelompok radikal dapat bertransformasi menjadi kelompok teroris.

"Kami membedakan kelompok Islam radikal, khususnya yang lokal, dengan kelompok teroris. Kelompok radikal Islam dalam setiap aksinya tidak pernah merencanakan pembunuhan meskipun mereka menggunakan kekerasan sedangkan teroris sasarannya adalah nyawa," kata Bonar.

Perbedaan kedua adalah sifat organisasi, menurut Bonar, kelompok radikal bersifat terbuka sedangkan teroris adalah jaringan tertutup yang hanya anggota dengan kedudukan tingat atas yang tahu semuanya.

Joko Jihad pada mulanya adalah anggota Laskar Jundullah, organisasi yang dikategorikan SETARA sebagai kelompok radikal. Pada tahun 1999 dia berangkat ke Ambon untuk ikut ambil bagian dalam konflik agama di daerah tersebut.

Di tempat ini dia berkenalan dengan Alli Zein alias Allen yang merupakan kurir Noordin M. Top, mantan gembong teroris Jamaah Islamiyah yang ditembak mati oleh anggota Datasemen Khusus 88 pada 2009.

Dari perkenalan itulah pada 2004, setelah pulang ke rumahnya di Solo, Joko dan Allen serta Noordin merencanakan berbagai perampokan dan penculikan untuk mendanai aksi terorisme.

"Demikianlah cerita Joko yang pada mulanya hanya seorang anggota kelompok radikal yang tidak mempunyai afiliasi apapun dengan organisasi teroris namun akhirnya terjebak ke lubang tersebut," kata Bonar.

Joko didakwa tiga tahun penjara pada 2006 oleh Pengadikan Negeri Jakarta Selatan karena dianggap membantu Noordin. Namun pada 2007 dia mendapat pembebasan bersyarat.

Sedangkan kelompok Ightiyalat yang berasal dari Klaten adalah kelompok radikal yang sebagian besar anggotanya adalah siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri dan anggota kelompok Rohani Islam (Rohis).

Kelompok adalah murid dari Musab Abdul Ghafar yang mengajarkan pentingnya `ightilayat` (pembunuhan diam-diam yang ditujukan pada para pimpinan kafir yang dianggap memusuhi Islam).

Ightilayat kemudian bergabung kelompok teroris lokal Laskar Hisbah yang pada 2011 lalu terlibat baku tembak dengan aparat kepolisian di Sukoharjo.

Laskar Hisbah dan Ightiyalat kemudian bersama-sama melakukan baiat mati, yaitu menyerang orang kafir yang telah membunuh seorang muslim. Baiat inilah yang kemudian menjadi landasan penyerangan Laskar Hisbah pada aparat kepolisian yang dituduh membunuh pejuang-pejuang Islam Jamaah Islamiyah.

"Anak SMA anggota Rohis yang mungkin pada awalnya hanya ingin belajar Islam telah terjebak dalam aksi terorisme, ini menyedihkan," kata Bonar. (G005)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2012