Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo menandatangani Undang-undang Nomor 13 Tahun 2022 yang salah satunya mengatur soal cara dan bentuk partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

"Penguatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna dilakukan secara tertib dan bertanggung jawab dengan memenuhi tiga prasyarat; yaitu pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained)," demikian disebutkan dalam penjelasan undang-undang tersebut yang diakses Antara di Jakarta pada Senin.

Dalam penjelasan UU disebutkan bahwa tujuan pembentukan UU 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVII/2020.

Baca juga: DPR RI tunggu surat presiden soal UU Cipta Kerja

Dalam batang tubuh UU disebutkan bahwa pasal 96 diubah sehingga berbunyi:
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan pembentukan UU.
(2) Pemberian masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara daring dan/atau luring.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan RUU.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap naskah akademik dan/atau RUU dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
(5) Dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembentuk UU menginformasikan kepada masyarakat tentang pembentukan UU
(6) Untuk memenuhi hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembentuk UU dapat melakukan kegiatan konsultasi publik melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. seminar, lokakarya, diskusi; dan/ atau
d. kegiatan konsultasi publik lainnya.
(7) Hasil kegiatan konsultasi publik menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan RUU
(8) Pembentuk UU dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Kelompok orang yang dimaksud dalam ayat 3 adalah kelompok/organisasi masyarakat, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat yang terdaftar di kementerian yang berwenang, masyarakat hukum adat, dan penyandang disabilitas.

Seperti diketahui, pada 25 Juni 2021, MK menyatakan pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional) secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan".

Baca juga: Baleg setujui revisi UU 12/2011 jadi usul inisiatif DPR
Baca juga: Menkumham tegaskan pemerintah patuhi putusan MK tentang UU Cipta Kerja


Alasan MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional adalah karena pertama, yakni Pembentukan UU Ciptaker tidak sejalan dengan rumusan baku atau standar dalam UU 12/2011 tentang Perundang-Undangan dalam membentuk peraturan perundang-undangan.

Alasan kedua, MK menemukan setidaknya 9 fakta hukum berbeda (yaitu adanya salah ketik) antara naskah RUU Ciptaker yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden dengan UU 11/2020 setelah disahkan/diundangkan.

Alasan ketiga, MK menyebut UU Ciptaker tidak memberikan ruang partisipasi kepada masyarakat secara maksimal.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022