Jakarta (ANTARA) - Pengendali Dampak Lingkungan Ahli Madya Direktorat Penanganan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Teddy S. Mahendra mengatakan program gerakan partisipasi masyarakat yang diusung pihak produsen dibutuhkan untuk menjawab permasalahan pengelolaan sampah plastik.

Baca juga: Wagub DKI apresiasi program kelola sampah yang dilakukan swasta

Data Biro Pusat Statistik (BPS) pada 2018 menyebutkan tingkat kepedulian masyarakat dalam pengolahan sampah hanya sebesar 28 persen.

Menurut Teddy, angka tersebut dapat ditingkatkan setidaknya menjadi 50 persen pada tiga atau delapan tahun ke depan apabila program kelola sampah yang melibatkan dan memberdayakan masyarakat bermunculan.

Baca juga: Perlu upaya konkret tangani sampah plastik yang kian bertambah

Teddy mencontohkan bagaimana produsen P&G Indonesia bersama startup Octopus Indonesia membuat program yang memungkinkan masyarakat Jakarta dan Bandung menyetorkan sampah kemasan sachet atau multilayer serta plastik High Density Polyethelene (HDPE) melalui aplikasi di ponsel.

Kemudian sampah tersebut akan diolah menjadi sumber energi terbarukan oleh pengusaha pengolah sampah sehingga sampah plastik tidak berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).

“Kita bicara nasional, ya. Saya kira pada tahun 2030 bisa mendekati 50 persen asal seperti dua kolaborator ini juga tumbuh di mana-mana atau dua kawan ini memang menggerakkan di dalamnya menjadi lebih kuat,” kata Teddy saat dijumpai ANTARA di Jakarta, Selasa.

Dalam pengelolaan sampah, ia menjelaskan setidaknya terdapat tiga pendekatan yang perlu dijalankan yaitu mendorong perilaku minim sampah, mengembangkan ekonomi sirkular, serta memanfaatkan teknologi. Teddy memandang program dari kedua entitas sudah memenuhi pendekatan-pendekatan tersebut.

“Nilai dasarnya sebenarnya bergerak dari perubahan perilaku. Jadi kalau perubahan perilaku tidak didorong, mungkin ekonomi sirkular pun tidak akan bergerak kuat. Makanya dua kawan ini bicara juga soal pemberdayaan,” kata Teddy.

Ia juga mengingatkan bahwa saat ini pola pikir (mindset) terkait sampah juga harus berubah sesuai dengan yang diamanatkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Jika dahulu pola pikir hanya mencakup kumpul-angkut-buang, kini harus berubah menjadi kumpul-kelola sedekat-dekatnya dengan sumber sampah-buang residu.

Namun Teddy juga mencatat bahwa tidak semua pendekatan teknologi seperti model penggunaan aplikasi untuk mengumpulkan sampah dapat diterapkan di daerah-daerah lain di Indonesia termasuk wilayah timur. Hal tersebut, lanjutnya, harus disesuaikan dengan karakter masyarakat dan karakter sampah yang dihasilkan di daerah-daerah.

“Bisa jadi melalui startup (penggunaan teknologi aplikasi) bisa sukses di Bandung dan Jakarta atau mungkin di kota-kota besar. Di timur sana, bisa jadi harus dengan model lain. Jadi tidak ada satu model yang sama, menurut saya,” katanya.


Baca juga: Aneka sampah plastik ancam cemari laut

Baca juga: Lestarikan Bumi lewat ekonomi sirkular

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022