Asmat, Papua (ANTARA) - National Project Manager Wahana Visi Indonesia (WVI) Hotmianida Panjaitan mengatakan bahwa perilaku hidup sehat di Suku Asmat, Papua sudah mulai membaik pasca-kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk pada tahun 2018 lalu.

“Kalau dibilang berhasil, kami tidak bisa bilang muluk-muluk ya. Tapi kalau saya lihat kondisi waktu saya datang ke Warse, sudah sedikit lebih maju. Tapi Damen masih ada yang tidak pakai baju,” kata Hotmianida saat ditemui ANTARA di Kampung Damen, Kabupaten Asmat, Papua, Rabu.

Hotmianida menuturkan perubahan perilaku itu dapat terlihat pada masyarakat Asmat yang menjadi wilayah dampingan WVI seperti di Kampung Akamar, Kampung Birak, Kampung Warse dan Kampung Damen. Kini, masyarakat sudah mulai mau membiasakan diri untuk mandi dengan air bersih ataupun menggunakan air sungai dekat dermaga.

Baca juga: Bupati Asmat: Festival budaya diselenggarakan Oktober 2022

Meskipun yang dimaksud dengan mandi tersebut adalah celup atau molo yang berarti hanya sekadar mendinginkan tubuh ke dalam air. Bukan membersihkan tubuh karena cuaca yang seringkali panas dan terik.

Lewat pendampingan hidup bersih, anak-anak juga mulai rajin mencuci tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir yang disediakan di area pastoran.

Menurutnya, warga kampung bahkan sudah memahami tanda-tanda orang yang bergejala COVID-19 seperti batuk, pilek, sedikit flu sampai demam. Bantuan seperti masker juga sudah diberikan untuk penerapan protokol kesehatan, meskipun warga tidak melanjutkan pemakaian karena dana untuk membeli yang terbatas.

“Perubahan baru lagi yang sekarang sudah agak berkurang, itu intensitas anak meninggal. Dulu lumayan,” kata dia.

Menurunnya angka kematian pada anak, disebabkan karena orang tua sudah memahami pentingnya memberikan anak ASI eksklusif, sehingga anak tumbuh lebih sehat dan bahagia. Angka kematian tidak meningkat sesering dan dulu.

Orang tua juga sudah mengerti manajemen terpadu balita sakit yang dilakukan oleh masyarakat (MTBSM), sehingga mereka mengetahui kapan waktu untuk membawa anak pergi ke tenaga kesehatan (nakes).

Terutama setelah anak yang berusia di bawah dua tahun hingga balita dibawa pergi untuk bekerja di hutan yang dipenuhi nyamuk ataupun bakteri pembawa penyakit.

“Mereka juga sudah mulai mau untuk memikirkan (memberikan makanan sehat selain sagu) pada anaknya,” kata dia.

Baca juga: Anak-anak Suku Asmat masih terkendala mengakses pelayanan pendidikan

Sekretaris PNS Suku Asmat di Kampung Damen, Kabupaten Asmat, Papua Petrus Fumori mengatakan sampai KLB terjadi, masyarakat tidak mengetahui seperti apa bentuk rumah sehat ataupun kamar mandi bersih.

Banyak warga buang air besar di dekat hutan dan sampah bertebaran di area tempat tinggalnya.

Petrus mengaku KLB menjadi pukulan besar bagi Asmat karena merasa tidak mampu melindungi anak-anak dari penyakit hingga banyak anak meninggal dunia. Oleh karenanya pada tahun 2019, Asmat mulai secara berangsur membangun WC kecil menggunakan pipa dan kloset di setiap rumah agar lingkungan jadi lebih bersih.

Kini, warga mulai mengkonsumsi air minum bersih yang sudah direbus, beberapa memiliki rumah layak dan bersih sampai membangun kebun untuk menanam sayur yang hasilnya dapat memenuhi gizi anak.

“Perubahan terjadi. Masyarakat lebih sehat, minum air bersih, anak jadi tidak sakit-sakit lagi,” kata Petrus.

Baca juga: WVI dorong orang tua ciptakan lingkungan bersih cegah hepatitis akut

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022