Mataram (ANTARA News) - Ketua Fraksi Demokrat DPRD Nusa Tenggara Barat Sulaiman Hamzah dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Mataram terkait kasus dugaan korupsi Dana Alokasi Khusus bidang pendidikan di Kota Bima tahun anggaran 2007.

"Meskipun tanpa surat izin Presiden, kami lakukan penahanan yang merujuk kepada Undang Undang Susduk yang baru yakni Undang Undang Nomor 27 Tahun 2009," kata Kasi Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (NTB) Ismail, di Mataram, Rabu.

Ia mengatakan, anggota DPRD NTB itu dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Mataram, sesaat setelah penyidik Polda NTB melimpahkan berkas perkara dugaan korupsi itu bersama barang bukti dan tersangka, Selasa (31/1) sore.

Sulaiman didampingi penasihat hukumnya Mochtar Muhammad Saleh saat dijebloskan ke Lapas Mataram oleh aparat kejaksaan yang dipimpin Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB Suluh Dumadi.

Penahanan terhadap anggota DPRD NTB itu tidak didukung surat izin Presiden melalui Mendagri, namun kejaksaan merujuk kepada Undang Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

"Dalam Undang Undang Nomor 27 Tahun 2009 itu, seorang anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD yang berstatus tersangka korupsi dapat langsung ditahan," ujar Ismail.

Sulaiman merupakan anggota DPRD NTB yang berasal dari Daerah Pemilihan (Dapil) VI (Kota Bima, Kabupaten Bima dan Dompu).

Politisi dari Partai Demokrat itu sebelumnya menjabat Kepala Dinas Pendidikan Dasar Pemuda dan Olahraga (Dikdaspora) Kota Bima, dan dalam masa jabatannya di Pemkot Bima itu ia teridentifikasi terlibat penyimpangan dalam pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK) 2007.

Total nilai anggaran tersebut mencapai Rp10 miliar untuk pembangunan 34 unit Sekolah Dasar (SD).

Awalnya, penyelidikan dan penyidikan dugaan penyalahgunaan DAK di Kota Bima itu ditangani Polres Bima hingga dilakukan pemeriksaan 24 orang saksi, namun sejak Februari 2011 kasus itu dilimpahkan ke Polda NTB karena pertimbangan tertentu, termasuk stabilitas keamanan di wilayah itu.

Indikasi penyalahgunaan DAK itu, berupa penyaluran DAK di Dikdaspora Kota Bima yang disinyalir tidak sesuai ketentuan.

Sebanyak 34 SD di Kota Bima yang mendapat DAK 2007 itu hingga kini belum diberikan sisa dana dari Dikdaspora Kota Bima. Rata-rata dana yang belum diterima ini berkisar antara Rp17,5 juta hingga Rp35 juta, tergantung jumlah paket yang dikucurkan saat itu.

Pagu dana untuk setiap SD berkisar antara Rp250 juta hingga Rp500 juta, bergantung dari jumlah paket yang diterima. Namun sebagian besar SD hanya mendapatkan dua paket proyek dengan nilai Rp 500 juta.

Sementara bendahara proyek DAK itu mengaku telah menyerahkan ke Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Bahkan, dilaporkan tak hanya DAK 2007 saja yang belum dikucurkan sesuai ketentuan, DAK 2009 pun belum tuntas, karena masih ada sejumlah sekolah yang belum menerima dana itu sesuai jumlah yang semestinya.

Versi penyidik kepolisian yang berkaskan dalam berita acara pemeriksaan (BAP), dugaan kerugian negara diperkirakan mencapai Rp766 juta.

Sebelum Sulaiman, ditetapkan sebagai tersangka, penyidik lebih dulu menetapkan mantan Kasubdin Pendidikan Dasar (Dikdas) Dikdaspora tahun 2007 H Sahruman Abdullah, sebagai tersangka, dan langsung ditahan di Lapas Mataram.

Bahkan, berkas perkara Sahruman sudah disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram.

Tersangka lainnya dalam kasus dugaan penyimpangan DAK Kota Bima 2007 itu yakni Y Titik Handoyo selaku bendara DAK, namun yang bersangkutan masih berkeliaran di Bima karena belum dilakukan penahanan.

Ketiga tersangka DAK itu dijerat pasal 2 dan 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi junto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

(A058/S021)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2012