New York (ANTARA) - Dolar melemah pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), karena imbal hasil obligasi pemerintah AS turun di tengah kekhawatiran ekonomi AS dapat meluncur ke dalam resesi setelah Ketua Federal Reserve Jerome Powell mengatakan suku bunga yang lebih tinggi menyakitkan tetapi merupakan cara bank sentral memperlambat inflasi.

The Fed tidak mencoba untuk merekayasa resesi untuk menekan inflasi tetapi berkomitmen penuh untuk mengendalikan harga-harga sekalipun hal itu berisiko terhadap penurunan ekonomi, kata Powell pada sidang Komite Perbankan Senat AS.

"Suku bunga yang lebih tinggi memang menyakitkan, tetapi itu adalah alat yang kita miliki untuk menurunkan inflasi," kata Powell.

Investor khawatir bahwa kenaikan suku bunga agresif oleh bank sentral untuk menjinakkan risiko inflasi menyebabkan perlambatan atau resesi global yang tajam. Suku bunga yang lebih tinggi telah memperkuat dolar tetapi euro telah naik dalam beberapa hari terakhir karena rencana Bank Sentral Eropa (ECB) menaikkan suku bunga untuk menahan inflasi.

"Keputusan Federal Reserve menyiapkan panggung untuk langkah yang lebih besar oleh bank sentral lain dan itu memimpin euro lebih tinggi, misalnya, dan dolar Kanada lebih tinggi," kata Kathy Lien, direktur pelaksana di BK Asset Management di New York.

"Penjualan obligasi pemerintah AS memberi tahu kita bahwa pasar tidak terkejut dengan apa pun yang dikatakan Powell. Saya akan mengaitkan pelemahan dolar lebih banyak dengan pergerakan greenback sejalan dengan imbal hasil obligasi pemerintah," kata Lien.

Inflasi harga konsumen Inggris mencapai tertinggi 40 tahun di 9,1 persen pada Mei, sementara inflasi tahunan Kanada melonjak menjadi 7,7 persen bulan lalu ke tingkat tertinggi sejak Januari 1983. Data terbaru menunjukkan harga-harga konsumen berjalan lebih panas dari yang diharapkan.

Sterling awalnya kehilangan hampir 1,0 persen karena jatuh ke level terendah satu minggu di 1,2162 dolar, tetapi telah mengurangi sebagian besar kerugian. Dolar Kanada naik terhadap mata uang AS, bergerak lebih jauh dari level 1,30 yang ditutup pada Jumat lalu (17/6/2022) dan pada Senin (20/6/2022).

"Powell memberikan lampu hijau untuk penguatan dolar lebih lanjut terhadap yen Jepang," kata Lien.

Pelaku pasar terbelah antara mengakui bahwa bank sentral memperketat kondisi keuangan lebih agresif dari yang diharapkan satu atau dua bulan lalu dan kekhawatiran tentang apa dampak ekonomi yang akan terjadi, kata Marc Chandler, kepala strategi pasar di Bannockburn Global Forex.

"Sentimen berubah-ubah sebagian karena kami tidak yakin kapan inflasi akan mencapai puncaknya," kata Chandler. "Semuanya didorong oleh inflasi, ekspektasi inflasi dan kebijakan bank sentral."

Indeks dolar turun 0,31 persen, dengan euro naik 0,47 persen pada 1,0574 dolar. Yen menguat 0,36 persen menjadi 136,14 per dolar, sementara sterling turun 0,04 persen menjadi 1,2267 dolar.

Mata uang safe-haven dolar telah menguat terhadap sebagian besar mata uang. Yen mencapai level terendah baru 24 tahun karena kenaikan imbal hasil obligasi AS dan Eropa kontras dengan suku bunga Jepang yang rendah.

"Kekhawatiran resesi meningkat karena bank-bank sentral memperlambat permintaan untuk mengekang inflasi. Mata uang pro-siklus pada posisi yang kurang menguntungkan dan dolar tetap sangat diminati," kata Chris Turner, kepala pasar global di ING.

Analis melihat tidak ada akhir dari aksi jual yang telah melemahkan yen 18 persen tahun ini dari 115,08 pada akhir 2021.

Baca juga: Emas sedikit melemah setelah kesaksian ketua Fed
Baca juga: Minyak jatuh, investor khawatir kenaikan suku bunga Fed dorong resesi
Baca juga: Saham Prancis berakhir negatif, indeks CAC 40 merosot 0,81 persen

 

Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022