Jakarta (ANTARA) - Mantan Pimpinan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Bangka Belitung Ayik Heriansyah menegaskan ajaran dan narasi khilafah sebagai sistem yang wajib diterapkan di Indonesia merupakan ajaran yang keliru dan haram, sehingga harus diperangi karena termasuk pemberontakan (bughat).

"Justru ajaran khilafah yang mereka bawa itu hukumnya haram, kenapa haram? Karena mendirikan khilafah di atas khilafah itu nggak boleh, haram itu hukumya, itu bughat dan bughat hukumnya adalah diperangi," tegas Ayik Heriansyah dalam keterangan yang dirilis BNPT di Jakarta, Kamis.

Ia melanjutkan, sejatinya bentuk atau sistem pemerintahan Indonesia yang ada saat ini sudah termasuk kekhilafahan, karena sudah mengangkat dan memilih pemimpinnya, yaitu Presiden sebagai Kepala Negara.

Ayik menyatakan kelompok yang konsisten menginginkan khilafah seperti yang mereka pahami dan yakini haruslah menerima fakta bahwa mereka adalah kelompok yang harus diperangi.

"Apakah sistem pemerintahan yang sekarang sudah termasuk khilafah? Jawabannya sudah, karena sudah ada pemimpinnya yaitu Presiden. Kalau mereka konsisten dan ngotot ingin khilafah seperti yang mereka mau, mereka harus terima bahwa mereka itu diperangi, mendirikan khalifah di atas khalifah itu haram," jelasnya.

Baca juga: Polisi: hampir 30 sekolah terafiliasi dengan Khilafatul Muslimin
Baca juga: Eks anggota NII : Marak kampanye khilafah karena regulasi kurang tajam
Baca juga: Polisi: Aminuddin sosialisasikan paham khilafah untuk dirikan negara


Direktur Eksekutif Center for Narrative Radicalism and Cyber Terrorism (CNRCT) ini menilai ideologi khilafah yang dibawa oleh kelompok pengusungnya telah mengalami penyimpangan makna yang menyesatkan menjadi sebuah sistem pemerintahan yang khusus guna mendeligitimasi terhadap pemerintahan yang sah saat ini.

"Khilafah didefinisikan dengan aktifitas atau amal untuk memilih seorang pemimpin, namun khilafah itu diselewengkan. Agar masyarakat menolak pemerintah yang ada, kemudian memperjuangkan pemimpin kelompoknya untuk menjadi penguasa, ini politik," ujar Ayik.

Gerakan penyebaran ideologi khilafah, katanya, tidak lepas dari unsur politik, bagaimana kelompok tersebut juga ingin berkuasa dengan mengusung pemimpinnya atau Amir atau Khalifah melalui propaganda, kebohongan publik dan pengaburan makna bahkan sejarah.

"Karena yang jadi pemimpin bukan dari kelompoknya mereka, jadi khilafah sebagai sebuah system pemerintahan hanya propaganda saja. Itu penyimpangan dari makna khilafah, bukan menjalankan ajaran Islam tapi hanya sebagai propaganda untuk berkuasa saja,” jelas pria yang pernah menempuh pendidikan di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) ini.

Oleh sebab itu, Ayik yang juga Pengurus Lembaga Dakwah NU (LDNU) Provinsi Jawa Barat ini menuturkan, berkebalikan dengan agenda propaganda kelompok pengusung khilafah, sejatinya dalam ajaran Islam diajarkan tentang nilai-nilai hidup berbangsa dan bernegara serta menjaga negara yang merupakan bagian dari amanah Allah SWT yang harus dijaga.

"Allah SWT menciptakan kita bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, itu sunatullah (ketetapan Allah). Kita diperintahkan untuk tolong-menolong dalam hal ketakwaan dan kebaikan dengan siapa saja, yang berbeda suku, agama, secara umum, bukan hanya kepada sesama Muslim saja,” tuturnya.

Artinya, kehidupan berbangsa dan bernegara itu adalah rahmat dan sunatullah yang tidak bisa ditolak. Termasuk menjaga bangsa merupakan amanah Allah, itu harus dijaga, dirawat dan dipelihara. Tidak hanya itu, dalam kesempatan yang sama Ayik juga mendorong adanya kolaborasi dan partisipasi antara masyarakat dan pemerintah untuk bersama-sama mengurai permasalahan radikalisme dan terorisme yang kian massif.

"Masyarakat ini kalau mau selamat dari virus radikalisme dan ideologi khilafah maka harus banyak belajar dari kyai, ulama dan harus perbanyak wawasan melalui literasi. Tokoh-tokoh, masyarakat dan pemerintah harus berkolaborasi menurut saya. Apa yang bisa dilakukan sesuai kemampuan dan kapasitasnya masing-masing," kata Ayik.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2022