Regulasi saja tidak cukup...
Jakarta (ANTARA) - Analis Senior Departemen Pengembangan UMKM dan Perlindungan Konsumen Bank Indonesia Setiyawan Adhi Nurilham mengungkapkan beberapa strategi yang dijalankan Bank Indonesia dalam menangani dan mencegah potensi kejahatan siber di ekosistem ekonomi digital.

"Regulasi saja tidak cukup, inovasi layanan dibutuhkan juga dari pihak penyelenggara dengan mengaplikasikan 'best practice' sehingga perlindungan konsumen bisa tercapai. Di samping itu mengedukasi dengan giat para konsumen juga penting," kata Setiyawan dalam diskusi daring bersama DANA, Jumat.

Ia pun menjelaskan saat ini ada celah yang besar antara inklusi keuangan dan pemahaman konsumen terhadap layanan ekonomi digital di Tanah Air.

Baca juga: BI : Sistem pembayaran digital membuat proses ekonomi lebih baik

Dalam survei Bank Indonesia 2018 tercatat baru 36,3 persen masyarakat di Tanah Air yang paham terkait risiko menggunakan alat pembayaran menggunakan kartu serta uang elektronik.

Terbaru dalam Survei Kementerian Perdagangan 2021 didapatkan bahwa indeks keberdayaan konsumen di Indonesia masih masuk dalam kategori kurang berdaya dan perlu ditingkatkan ke kategori kritis bahkan berdaya.

Kurangnya pemahaman masyarakat Indonesia sebagai konsumen layanan keuangan digital juga dibuktikan dengan banyaknya penanganan kasus penipuan daring yang ditangani Kepolisian RI dengan rentang waktu 2016-2021 yang mencapai 40 persen dari semua masalah di ruang digital.

Selain mendorong penyelenggara layanan ekonomi digital untuk berinovasi, BI pun menyiapkan beberapa strategi lainnya untuk meminimalisir ruang gerak dari para pihak tidak bertanggung jawab di tengah ekosistem ekonomi digital Indonesia.

Dimulai dengan mendorong sinkronisasi nomor ponsel dengan industri sistem pembayaran hingga menyiapkan ruang pertukaran informasi nomor ponsel para penipu daring bagi pelaku jasa keuangan.

Baca juga: Prospek pertumbuhan ekonomi digital Indonesia dinilai optimis

"Jadi ketika misalnya ada kasus penipuan yang minta isi link agar layanan keuangan calon korban bisa diambil alih itu bisa diminimalisir, nomor si penelpon atau yang mengirim pesan itu bisa diblokir langsung dari sistem," kata Setiyawan menjelaskan maksud dari strategi sinkronisasi nomor ponsel bagi para pelaku jasa keuangan.

Lebih lanjut, BI juga mendorong adanya standardisasi mekanisme pengunggahan data di aplikasi sistem pembayaran berlisensi di App Store atau Google Store.

Tidak hanya itu, BI juga mendorong agar nantinya industri jasa keuangan memiliki satu nomor pengaduan yang tersentral untuk penanganan kejahatan digital terkait layanan keuangan.

"Jadi nantinya konsumen tidak perlu lagi menghafalkan nomor call center beda-beda untuk layanannya, harapannya bisa ada yang satu khusus untuk layanan jasa keuangan," katanya.

Baca juga: Infrastruktur digital diperlukan untuk jawab tantangan ekonomi global

Tak lupa semuanya itu perlu terus dikenalkan dan disosialisasikan pada masyarakat melalui berbagai forum edukasi dan komunikasi sehingga dapat mencegah potensi kejahatan digital.

Terakhir, BI juga mendorong adanya kampanye nasional untuk perlindungan konsumen sehingga masyarakat lebih sadar dan memahami pentingnya mengenal dengan baik layanan finansial baik yang tradisional maupun digital yang digunakannya.

"Itu beberapa rencana penguatan dari BI yang diharapkan bisa diterapkan bersama-sama sehingga memperkuat perlindungan konsumen, melindungi dan menciptakan keseimbangan antara penyelenggara dan konsumen layanan keuangan," tutup Setiyawan.

Upaya pencegahan kejahatan siber penting dalam upaya memberikan ruang yang nyaman dan aman tidak hanya bagi masyarakat tapi juga penyelenggara ekonomi digital.

Baca juga: Kominfo berkomitmen giatkan literasi ekonomi digital lewat GLDN

Baca juga: BI: Transaksi digital perbankan naik jadi Rp3.766,7 triliun pada Mei

Baca juga: RUU PDP perlu segera disahkan demi dorong kontribusi ekonomi digital

Pewarta: Livia Kristianti
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2022