Semakin beragam kita memproduksi dan mengonsumsi pangan, tingkat daya lentingnya makin kuat
Jakarta (ANTARA) - Pengamat pangan Said Abdullah menyatakan pemerintah perlu serius untuk mengurangi ketergantungan terhadap komoditas beras karena sebenarnya Indonesia memiliki beragam jenis pangan sebagai sumber karbohidrat.

"Data BPS terkait konsumsi beras dr tahun ke tahun sebenarnya menunjukkan penurunan artinya di tingkat konsumsi masyarakat sendiri ada perubahan secara alamiah walau perlahan dari beras ke non beras. Ini yang menurut saya harus ditangkap peluangnya," katanya di Jakarta, Jumat.

Menurut Said, yang juga Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, saat ini komoditas beras sudah dinilai memiliki posisi dan pengaruh yang sedemikian kuat tidak hanya di pola pangan masyarakat namun juga dalam stabilitas ekonomi sosial dan politik masyarakat maka pemerintah sampai dengan saat ini berusaha dengan sangat keras untuk menjaga produksi dan stabilitasnya.

Kebijakan dalam menjaga beras tersebut, lanjutnya, bisa dipahami karena ada resiko yang harus ditanggung jika ini tidak diurus dengan benar.

"Tetapi ini tidak bisa juga dibiarkan berlarut. Karena ketergantungan yang besar pada satu komoditas pangan sangat berbahaya. Kunci dari resiliensi terkait pangan justru ada di keberagaman pangan itu sendiri. Semakin beragam kita memproduksi dan mengonsumsi pangan, tingkat daya lentingnya makin kuat," katanya.

Ia menyoroti bahwa karena posisi beras yang demikian dan kebijakan, program serta anggaran terserap habis untuk menjaga beras maka tidak bisa dipungkiri jika dukungan untuk pengembangan produksi pangan nonberas menjadi sangat kecil sekali.

Namun, Said melihat bahwa dalam beberapa bulan terakhir, Presiden telah membuat pernyataan yang cukup bagus soal pentingnya bangsa ini untuk kembali melihat potensi pangan lokal.

"Ini harusnya menjadi sinyalemen penting soal keberpihakan pada pangan nonberas. Dan tentu saja harusnya bisa ditindaklanjuti dengan kebijakan, program dan anggaran oleh kementerian teknis dan lembaga terkait," katanya.

Untuk itu, tegas dia, saatnya pemerintah perlu serius menggarap pangan non beras yang beragam dengan dukungan kebijakan, program dan anggaran yang memadai.

Sebelumnya, Kepala Badan Penyuluh dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Pertanian Kementerian Pertanian Dedi Nursyamsi mengatakan bahwa diversifikasi ke pangan lokal menjadi solusi agar Indonesia terhindar dari krisis pangan global.

"Solusinya adalah kita mesti genjot pangan lokal, kita harus diversifikasi pangan impor menjadi pangan lokal. Ganti gandum dengan umbi-umbian, dengan singkong, dengan lobak, dan lain sebagainya," kata Dedi.

Dedi menyebutkan harga-harga pangan yang meningkat signifikan pada saat ini merupakan gejala dari krisis pangan yang mulai terjadi. Krisis pangan tersebut diakibatkan oleh kurangnya pasokan pangan di dunia karena perubahan iklim.

Naiknya permukaan air laut yang membanjiri lahan pertanian, kemarau panjang, kebakaran hutan, dan serbuan hama pada lahan pertanian menyebabkan penurunan produksi komoditas pertanian yang berakibat pada minimnya pasokan dan melonjaknya harga pangan.

Menurut Badan Pangan Dunia (FAO), kata Dedi, Indonesia adalah salah satu negara yang terdampak dari krisis pangan global dikarenakan jumlah penduduknya yang banyak. Oleh karena itu menurut Dedi, Indonesia harus bisa memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri dan tidak tergantung dengan komoditas pangan impor.

"Umbi-umbian, pangan lokal itu berlimpah sesungguhnya di negara kita. Tapi sayangnya kenapa orang Indonesia kok sukanya mie yang berasal dari gandum, padahal gandum itu pangan subtropis," kata Dedi.

Baca juga: Legislator minta pemerintah serius antisipasi krisis pangan
Baca juga: CIPS: perlu reformasi kebijakan pertanian cegah krisis pangan
Baca juga: CIPS: tren kenaikan harga pangan terjadi sejak akhir 2021

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022