Setiap tahun terdapat pelaporan penerimaan gratifikasi dari pejabat di lingkungan Pemprov Jateng.
Semarang (ANTARA) -
Pelaksana Tugas Inspektur Provinsi Jawa Tengah (Jateng) Dhoni Widianto menyebut kesadaran pejabat di Jateng dalam melaporkan berbagai praktik gratifikasi cukup tinggi.

"Langkah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam pencegahan korupsi jajarannya itu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak memberikan gratifikasi kepada pejabat," kata Dhoni, di Semarang, Selasa.

Berdasarkan data Inspektorat Provinsi Jateng selaku unit pengendalian gratifikasi (UPG), setiap tahun terdapat pelaporan penerimaan gratifikasi dari pejabat di lingkungan Pemprov Jateng.

Tercatat, sejak 2018 ada 14 laporan dengan nilai Rp61.100.000, pada 2019 ada 19 laporan gratifikasi dengan nilai Rp10.250.000 dan 1.000 dolar Singapura, pada 2020 terdapat 11 laporan dengan nilai Rp6.665.000, pada 2021 ada 33 laporan dengan nilai Rp18.357.300, dan hingga bulan Mei 2022 terdapat 20 laporan senilai Rp27.516.000.

Ia mengungkapkan, keseriusan Pemprov Jateng mengendalikan gratifikasi telah dimulai sejak periode pertama Ganjar Pranowo menjabat sebagai Gubernur Jateng yang ditunjukkan dengan mengeluarkan Pergub Nomor 59 Tahun 2014 dan diubah dengan Pergub Nomor 24 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi.

"Pergub tersebut mengatur antara lain mengenai definisi gratifikasi, jenis-jenis gratifikasi yang wajib dan tidak wajib dilaporkan, tata cara pelaporan, unit pengendalian gratifikasi, hak dan kewajiban pelapor serta perlindungan bagi pelapor," ujarnya pula.

Menurut dia, gratifikasi wajib dilaporkan kepada UPG atau KPK bilamana hal itu berkaitan langsung dengan jabatan dan berlawanan dengan dengan tugas dan kewajiban penerima selaku pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Namun, jika pemberian tidak berkaitan dengan kewenangan jabatan, berlaku umum, tidak bertentangan dengan peraturan, nilainya wajar dalam batasan tertentu, dan sebagai bentuk pemberian dalam ranah adat istiadat, kebiasaan serta norma masyarakat hal tersebut tidak wajib dilaporkan.

Dia menyebut, gratifikasi biasanya diberikan dalam bentuk paket makanan atau minuman, dan paling banyak diberikan pada saat momen hari raya keagamaan.

"Ada pemberian gratifikasi barang berupa tas dengan nilai 600 dolar Amerika Serikat atau setara Rp8.550.000, modus pemberian gratifikasi yang digunakan, biasanya berupa bingkisan/parsel sebagai hadiah atau ucapan terima kasih. Pemberian gratifikasi didominasi kepada pejabat atau staf yang mempunyai kewenangan tertentu," katanya pula.

Dhoni menjelaskan bahwa gratifikasi adalah bentuk suap terselubung dan tindakan ini berpotensi mendorong aparatur sipil negara bersikap tidak profesional, tidak objektif dan tidak adil dalam melaksanakan tugas.

Apabila pegawai negeri diberi gratifikasi yang dilarang, kata dia, tindakan yang harus dilakukan adalah menolak pemberian tersebut dan pada kondisi tertentu tidak dapat menolak, maka wajib melaporkan penerimaan gratifikasi tersebut ke KPK.

Oleh karena itu, dirinya mengingatkan jajaran Pemprov Jateng untuk melaporkan gratifikasi yang diterima melalui UPG atau KPK, dan pelaporan gratifikasi dapat dilakukan secara online melalui gol.kpk.go.id.

"Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. (Pasal 12B ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001). Jika penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja maka akan dikenai sanksi hukum," katanya lagi.
Baca juga: Ganjar instruksikan ASN Jateng tolak gratifikasi
Baca juga: Sistem anti-gratifikasi Jateng dapat penghargaan dari KPK

Pewarta: Wisnu Adhi Nugroho
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2022