Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan BPJS Kesehatan mengintensifkan deteksi dini penyakit diabetes melitus (DM) sebagai strategi menjamin kualitas hidup peserta dan efisiensi biaya perawatan jangka panjang.

"Skrining riwayat kesehatan diabetes dibutuhkan sebagai upaya preventif untuk mendeteksi risiko pre-diabetes dan DM sedini mungkin agar dapat ditindaklanjuti intervensi segera oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP)," kata Direktur Pelayanan Asuransi Kesehatan BPJS Kesehatan Lily Kresnowati pada acara Global Health Security and COVID-19 Task Force "Combating pre diabetes to avoid future significant burden of T20 DM yang diikuti dari Zoom di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan BPJS Kesehatan telah memfasilitasi layanan skrining kesehatan di 22.000 FKTP bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan swasta.

Hingga saat ini, kata dia, skrining untuk penyakit diabetes, kanker payudara, serta kanker serviks telah diakses oleh 2.600.644 peserta. Sebanyak 2 persen atau setara 17.630 di antaranya terdeteksi diabetes, 5 persen jantung koroner, 2 persen ginjal kronik, dan 12 persen hipertensi.

"Dari total 17.630 yang terdeteksi dini diabetes, 45 persen di antaranya berkriteria normal, 29 persen pre-diabetes, dan 26 persen diabetes melitus," katanya.

Baca juga: Indonesia-Denmark perkuat kompetensi layanan diabetes tingkat primer

Berdasarkan hasil evaluasi program Prolanis pada bulan layanan Januari-Mei 2022, kata Lily, sebanyak 2,4 juta jiwa lebih peserta diketahui menderita diabetes melitus tipe 2. Sebanyak 14 persen di antaranya terdaftar sebagai peserta Prolanis BPJS Kesehatan.

"Tetapi cakupan peserta yang mau diperiksa gula darah (GDP) hanya 32 persen. Masih perlu ditingkatkan lagi. Mereka yang berkunjung ke FKTP ada 56 persen dan 50 persen lainnya dilaporkan sudah terkendali gula darahnya," katanya.

Ia mengatakan pembiayaan obat luar paket pasien diabetes rawat inap berkisar 3-4 persen dari total biaya pelayanan kesehatan di Indonesia.

"Obat kronis biaya termahal didominasi oleh obat-obatan diabetes melitus, asma, dan kardiovascular. Top 3 obat kemoterapi berbiaya termahal berturut-turut didominasi untuk kanker, leukemia, kanker kolorektal dan payudara, serta kanker paru," katanya.

Staf Khusus Menteri Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Masyarakat Prastuti Soewondo mengatakan Kemenkes sedang memperbanyak outlet pelayanan skrining kesehatan untuk mempermudah jangkauan masyarakat.

Baca juga: BPJS Kesehatan perkuat promotif dan preventif tekan diabetes

"Kemenkes sedang memperbanyak outlet skrining, karena 10.400 puskesmas yang ada tidak cukup. BPJS Kesehatan sudah kontrak dengan 22.000 FKTP, termasuk swasta, itu juga tidak cukup," katanya.

Sejumlah fasilitas outlet yang dipersiapkan di level komunitas adalah keterlibatan kader Posyandu Prima di tingkat daerah, institusi tempat kerja, dan sekolah-sekolah. "Sebab, sudah banyak anak muda usia 5-18 tahun hingga usia produktif yang berisiko obesitas dan diabetes," katanya.

Kemenkes juga mengubah pola layanan kesehatan masyarakat, dari semula bersifat pelaporan, menjadi layanan. "Artinya, setiap ada layanan skrining, secara otomatis terekam di manapun layanan diberikan. Hasil skrining akan diikuti sesuai tema di aplikasi PeduliLindungi, sehingga kalau dites ada hasil positif maupun negatif, kader wajib monitor," katanya.

Diabetes merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia, karena menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Prevalensi diabetes terus meningkat karena banyaknya kasus yang tidak terdiagnosis.

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi diabetes telah meningkat sebanyak 10,9 persen pada 2018. International Diabetes Federation (IDF) juga menyebutkan bahwa jumlah penderita diabetes di Indonesia terus meningkat, dari 10,7 juta pada 2019 menjadi 19,5 juta pada 2021.

Baca juga: IDAI: Diabetes adalah induk penyakit tidak menular

Jumlah ini membawa Indonesia naik ke peringkat kelima, dari peringkat ketujuh pada 2019, dalam daftar negara dengan jumlah pengidap diabetes terbanyak di dunia. Jika tidak ada intervensi, angka ini diperkirakan akan terus meningkat dan dapat mencapai 643 juta pada 2030 dan 784 juta pada 2045.
 

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022