antimikroba merupakan masalah besar dunia saat ini
Jakarta (ANTARA) - Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama mengemukakan Forum G20 AMR Side Event Meeting menyoriti tentang potensi penyakit infeksi yang tidak bisa disembuhkan karena pengaruh antimikroba.

"Antimikroba merupakan masalah besar dunia saat ini, bahkan disebut sebagai silent epidemic. Kalau tidak ada upaya memadai, maka dunia dapat masuk ke era di mana antimikroba, termasuk antibiotika, antijamur, antivirus, antiparasit dan lainnya, menjadi tidak mempan lagi untuk mengobati infeksi di dunia, di negara G20, dan di Indonesia tentunya," kata Tanda Yoga Aditama melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Tjandra mengatakan antimikroba berisiko memicu masalah besar bagi kesehatan manusia, karena penyakit menular akan makin merajalela tanpa terkendali karena tidak bisa disembuhkan.

Pada agenda G20 AMR Pre-event Meeting yang diselenggarakan Rabu (29/6) malam, mengusung topik tentang peran surveilans sebagai tulang punggung pencegahan dan pengendalian antimicrobial resistance.

Baca juga: Seruan mewaspadai resistensi antimikroba
Baca juga: Indonesia bersama FAO ajak masyarakat hati-hati gunakan antimikroba

Pertemuan tersebut terbagi atas dua sesi diskusi yang meliputi upaya berbagai sektor secara spesifik melakukan surveilans antimicrobial usage dan antimicrobial resistance control, serta upaya mengintegrasikannya.

"Yang presentasi mewakili kegiatan surveilans pada manusia dan juga di rumah sakit, surveilans pada hewan, pada perikanan (aquaculture), dan pada lingkungan," ujarnya.

Di akhir sesi juga dibahas tentang kemungkinan target apa yang dapat dijadikan surveilans bersama antarnegara, baik dalam bentuk patogen yang spesifik, fenotipe resisten, penanda molekuler dan atau grup antimikrobial tertentu.

Pada sesi ke dua, dibahas tentang upaya mengintegrasikan surveilans dalam cakupan One Health atau metode harmonisasi manusia, hewan, dan lingkungan.

Pada sesi itu disampaikan pengalaman yang sudah dilakukan selama ini dalam bentuk tricycle project, regional networks ReLAVRA di Amerika Serikat dan inisiatif baru di Asia dalam bentuk ASIARSNET.

"Kemudian dibahas tentang faktor apa saja yang perlu diperkuat dalam surveilans ini, baik dalam bentuk kapasitas diagnostik, epidemiologi dan juga teknologi informasi," katanya.

Baca juga: Kolaborasi intersektoral bantu tangani resistensi antimikroba
Baca juga: Penguatan regulasi bisa kendalikan peredaran antibiotik di masyarakat

Tjandra yang juga mantan Direktur Penyakit Menular serta Mantan AMR Focal Point WHO Asia Tenggara itu mengatakan G20 AMR Pre-event Meeting juga membahas metode bersama dalam upaya mengintegrasikan pengumpulan data serta analisa dan pelaporannya.

"Kemudian dibahas secara spesifik bagaimana G20 dapat mendukung surveilans AMR dan jejaringnya," katanya.

Pertemuan tersebut merupakan persiapan dari acara puncak G20 AMR Side Event Meeting yang akan diselenggarakan pada 24 Agustus 2022 di Bali, sehari sesudah pertemuan ke tiga G20 Health Working Group Meeting.

"Semoga dunia, G20, dan Indonesia dapat melakukan kegiatan pengendalian AMR dengan tepat, dan menjadi salah satu prioritas program kesehatan masyarakat kita," katanya.

Baca juga: Kerja sama pengendalian AMR hingga COVID-19 diteken Indonesia-Inggris

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022