Jakarta (ANTARA) - Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Parid Ridwanudin menyatakan, pemerintah harus tetap memperhatikan risiko ke depannya mengenai tata kelola laut seperti kebijakan penangkapan ikan terukur yang dimulai tahun 2022 ini.

“Di Indonesia, tata kelola laut itu dialokasikan untuk sebesar-besar kepentingan korporasi,” kata Parid Ridwanudin dalam Konferensi Pers Media untuk “Respon kritis terhadap pertemuan konferensi laut dunia” yang yang dipantau dari Jakarta, Kamis.

Menurut dia, indikasi dari hal tersebut dapat dilihat misalnya dari konsesi lahan di pesisir dan laut, di mana sampai 2021, Walhi mencatat luas tambang di pesisir hampir 3 juta hektar, lalu di laut, luas tambang di perairannya hampir 700 ribu hektar.

“Saya pikir ini tata kelola laut yang membahayakan bagi masyarakat dan keberlanjutan pada masa yang akan datang,” kata Parid.

Selain itu, ujar dia, program yang sedang digalakkan tentang tata kelola laut adalah kebijakan penangkapan ikan terukur dinilai lebih bersifat ‘karpet merah’ bagi kepentingan korporasi karena nantinya korporasi termasuk pihak yang akan diberikan kuota penangkapan ikan.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati menyebutkan program penangkapan ikan terukur mempunyai banyak sekali catatan, seperti penetapan kuota penangkapan ikan.

Menurut Susan, penetapan kuota perikanan itu tidak berdasarkan dari data yang komprehensif terkait sumber daya perikanan yang dimiliki Indonesia.

Ia juga berpendapat bahwa tidak ada data yang valid yang kemudian bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah terkait dengan sumber daya yang ada di Indonesia.

Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan akan mengutamakan nelayan kecil dalam menentukan kuota dalam kebijakan penangkapan ikan terukur yang bakal dilaksanakan mulai tahun ini. Kuota tersebut terbagi menjadi kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota bukan tujuan komersial.

KKP juga menegaskan kebijakan penangkapan ikan terukur merupakan amanah Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Kebijakan ini diterapkan untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan demi terwujudnya laut yang sehat untuk Indonesia sejahtera.

Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini Hanafi saat membuka kegiatan bimbingan teknis tahap kedua bagi petugas verifikator dan pengolah data di pelabuhan perikanan tentang teknis pelaksanaan penarikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pascaproduksi/sistem kontrak dalam rangka kesiapan implementasi penangkapan ikan terukur di Surabaya, Selasa (17/5).

“Melalui penangkapan ikan terukur, kegiatan penangkapan ikan akan dilakukan berbasis output control dengan memanfaatkan potensi sumber daya ikan yang ada. Sebelumnya penangkapan ikan penerapannya melalui input control, di mana kelemahannya adalah kita belum bisa mengendalikan secara optimal sumber daya ikan yang dimanfaatkan,” jelasnya.

Untuk mengimplementasikan penangkapan ikan terukur, sejumlah persiapan dan kesiapan dilakukan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Salah satunya melalui peningkatan peran pelabuhan perikanan sebagai garda terdepan pendaratan ikan untuk menerapkan pemungutan PNBP pascaproduksi dan sistem kontrak.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dalam sejumlah kesempatan juga menjelaskan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota ini berupaya menyinergikan kepentingan ekonomi dengan daya dukung lingkungan/ekologi untuk menjaga keberlanjutan, kelestarian dan keseimbangan ekosistem serta keadilan dalam berusaha.

Baca juga: Program penangkapan ikan terukur diminati investor
Baca juga: Sempurnakan regulasi, KKP gelar konsultasi publik rancangan Peraturan Pemerintah tentang penangkapan ikan terukur


Pewarta: Ilham Kausar
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2022