Produksi rata-rata turun, susu juga tidak bisa diperah, langsung jatuh, kalau sudah jatuh, mengantre di rumah potong hewan
Jakarta (ANTARA) - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengungkapkan peternak sapi perah paling terdampak wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) dikarenakan sangat mempengaruhi kesehatan ternak dan produksi susu.

"Kalau kita melihat banyaknya sapi perah, karena paling terdampak dan mudah dideteksi," kata Wakil Ketua Komisi Tetap Bidang Peternakan Kadin Indonesia Yudi Guntara Noor dalam webinar mengenai PMK yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) di Jakarta, Jumat.

Yudi menjabarkan bahwa infeksi PMK pada sapi perah berdampak lebih buruk dibandingkan sapi potong. Indikasi terinfeksinya PMK pada sapi perah, selain indikasi umum PMK seperti lepuh di bibir dan kuku, juga penurunan produksi susu secara drastis.

Dia menjelaskan sapi perah yang terinfeksi PMK mengalami penurunan produksi susu, atau bahkan berhenti berproduksi. Selain itu, sapi perah yang terinfeksi PMK tak mampu berdiri karena sakit.

"Produksi rata-rata turun, susu juga tidak bisa diperah, langsung jatuh, kalau sudah jatuh, mengantre di rumah potong hewan," kata Yudi.

Dia menerangkan bahwa sapi perah yang sakit karena terinfeksi PMK lebih banyak dipotong bersyarat karena berhenti memproduksi susu.

Berdasarkan data Gabungan Koperasi Susu Indoneia (GKSI) penurunan produksi susu sapi menurun 30 hingga 40 persen sejak terjadinya wabah PMK di Indonesia.

Yudi mengungkapkan bahwa data PMK yang dilaporkan dalam laman resmi pemerintah di siagapmk.id lebih kecil dibandingkan yang terjadi di lapangan.

Sebagai contoh Yudi membandingkan data GKSI per 22 Juni yang mencatat kematian sapi perah akibat PMK di provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat sebanyak 1.601 ekor dan sapi yang dipotong paksa sebanyak 2.852 ekor. Sementara data dari Kementerian Pertanian per 22 Juni yaitu 2.460 ekor ternak dipotong paksa dan 1.499 ekor mati akibat PMK secara nasional di seluruh Indonesia.

Perbedaan data di lapangan dengan data resmi pemerintah, kata dia, dikarenakan tidak semua ternak yang diduga terinfeksi PMK dilaporkan pada pemerintah oleh peternaknya.

Yudi menyebutkan kondisi kasus PMK di Indonesia saat ini sama halnya seperti awal terjadinya kasus Covid-19 di Indonesia yang membutuhkan waktu lama dalam mendeteksi konfirmasi positif kasus karena harus melalui pemeriksaan PCR di laboratorium.


Baca juga: Akademisi: Prokes pencegahan PMK perlu jadi prioritas
Baca juga: Kadin sebut data PMK di lapangan lebih besar dari yang dilaporkan
Baca juga: Anies lepas 865 petugas pemeriksa hewan dan daging kurban di Jakarta

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022