dia juga seorang aktivis revolusioner
Jakarta (ANTARA) - Titimangsa dan KawanKawan Media, bekerja sama dengan Direktorat Perfilman, Musik dan Media Kemendikbudristek menghadirkan pentas seri monolog "Yang Tertinggal Di Jakarta" sebagai pertunjukkan kelima serial monolog Di Tepi Sejarah yang berlangsung pada 2-3 Juli 2022, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
 
Kali ini, pentas seri monolog musim kedua itu berjudul "Yang Tertinggal di Jakarta" yang ditulis oleh Felix K. Nesi dan disutradarai oleh Sri Qadariatin. Pentas ini mengisahkan tentang Emiria Soenassa, seorang pelukis perempuan pertama di Indonesia yang hidup di tahun 1895-1964.

Sosok tersebut digambarkan sebagai seorang pemikir revolusioner dan disebut kedudukannya sejajar dengan Chairil Anwar dan Kartini.
 
Tak banyak yang tahu pasti tentang kehidupannya dan kerap menghilang dalam beberapa tahun hidupnya.
 
Hal tersebut menjadi tantangan bagi Titimangsa untuk mengangkat sosok Emiria dalam salah satu episode pertunjukkan Di Tepi Sejarah.
 
"Dia bukan hanya sebagai seorang perupa perempuan pertama dan dia juga seorang aktivis revolusioner. Dan juga program Di Tepi Sejarah ini kita butuh suara-suara perempuan, " ucap Produser Titimangsa Foundation, Happy Salma.
 
Sosok Emiria dalam pementasan ini diperankan oleh aktris yang juga penyanyi jazz Indonesia Dira Sugandi. Happy merasa penyanyi tersebut bisa merepresentasikan seorang Emiria dengan sangat baik.
 
"Pilihan saya tidak sia-sia. Akhirnya saya melamar dia untuk memainkan Emiria, karena tokoh itu adalah dari Tidore Indonesia Timur dan dia punya gaya yang menyerupai. Dan dia punya vokal yang kuat dan kedisiplinan yang luar biasa" ucapnya bangga.
 
Monolog "Di Tepi Sejarah" hidupkan lagi kisah pelukis Emiria Soenassa (ANTARA/Fitra Ashari)
 
Happy Salma mengatakan rangkaian seri monolog Di Tepi Sejarah bukan mutlak menceritakan sejarah tapi interpretasi tentang tokoh-tokoh tersebut yang dimonologkan dengan aktor yang mumpuni.
 
Ia juga mengatakan pementasan ini sebagai ruang untuk melawan hoax.
 
"Ruang cerita seperti ini bisa memantik diskusi dan keingintahuan sampai akhirnya kita punya pandangan-pandangan tersendiri, " ucapnya.
 
Selain sosok Emiria Soenassa, seri monolog musim kedua ini juga akan mengangkat tokoh lainnya seperti Sjafruddin Prawiranegara, Kassian Chepas, Gombloh dan Ismail Marzuki. Pemilihan tokoh ini diharapkan dapat memberikan lain dalam memaknai nasionalisme, khususnya bagi generasi muda.
 
Pentas ini akan direkam dan ditayangkan secara daring di saluran Kemendikbudristek RI, yaitu kanal Youtube “Budaya Saya” dan di saluran televisi “Indonesiana TV”.
 
Di Tepi Sejarah merupakan sebuah seri monolog yang menceritakan tentang tokoh-tokoh yang mungkin tak pernah disebut namanya dalam narasi besar sejarah bangsa Indonesia.
 
Sebelumnya, seri monolog Di Tepi Sejarah telah sukses diselenggarakan pada tahun 2021, dengan mengangkat empat judul monolog yaitu “Nusa Yang Hilang”, “Radio Ibu”, “Sepinya Sepi”, dan “Amir, Akhir Sebuah Syair”.
 
Pentas tersebut mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, seperti guru, mahasiswa, serta seniman.
 
Seri Monolog “Di Tepi Sejarah” ini diprakarsai oleh Happy Salma dan Yulia Evina Bhara selaku Produser dari Titimangsa Foundation dan KawanKawan Media. Pentas ini juga merupakan kerja bersama dengan Direktorat Perfilman, Musik dan Media Baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia.

Baca juga: Inggit Garnasih di atas panggung pentas, tegak setelah dihantam ombak

Baca juga: Musikal monolog "Inggit Garnasih" dipentaskan usai dua tahun tertunda

Baca juga: Episode ketiga "Di Tepi Sejarah" hadirkan kisah hidup Gombloh
 

Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022