Denpasar (ANTARA) - Murtirupa (demonstrasi) tradisi memohon hujan Gebug Ende, khas Desa Seraya, Kabupaten Karangasem, Bali ditampilkan di Lapangan Puputan Margarana Denpasar untuk memeriahkan ajang Jantra Tradisi Bali.

"Dari cerita turun-temurun yang kami terima dan warisi, biasanya dipentaskan pada saat setelah Usaba Kaja atau Usaba di Pura Puseh," kata Gede Nala Antara, salah satu tokoh Desa Seraya, disela-sela demonstrasi tersebut, Sabtu.

Baca juga: Gubernur dan warga Sumatera Selatan shalat istisqa untuk memohon hujan

Gebug Ende, lanjut Nala Antara, biasanya dipentaskan setelah ritual Usaba Kaja atau Usaba di Pura Puseh Desa Seraya pada Sasih Kapat (bulan keeempat dalam penanggalan Bali) yang memang di saat musim kemarau, supaya hujan segera turun.

Demonstrasi Gebug Ende atau "perang" menggunakan rotan yang dilengkapi dengan tameng tersebut dibawakan oleh 10 pasang pemuda dari Sanggar Seni Tridatu, Desa Seraya yang diiringi dengan gamelan.

"Di desa kami, ketika pemain Gebug Ende sampai berceceran darah, darahnya dipercaya dapat mendatangkan hujan di saat musim kemarau," ucap Nala Antara yang juga kurator Pesta Kesenian Bali ke-44 itu.

Baca juga: Warga Palangka Raya shalat istisqa untuk memohon hujan

Menurut dia, tradisi yang diyakini untuk memohon hujan ini tentunya bersesuaian dengan tema PKB pada 2022 yakni Danu Kerthi: Huluning Amretha (Memuliakan Air Sumber Kehidupan). Jantra Tradisi Bali menjadi bagian dari pelaksanaan PKB Era Baru.

Nala Antara menyampaikan, berdasarkan penuturan dari para leluhur Desa Seraya sebelumnya, dikatakan lahirnya Gebug Ende bermula dari perang antara Kerajaan Karangasem untuk menaklukkan Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat, sekitar abad ke-17.

Ketika itu, pimpinan kerajaan dan mahapatih, disertai prajurit utamanya Soroh Petang Dasa (40 prajurit andalan) akhirnya berhasil menaklukkan Lombok.

Baca juga: Ribuan warga Banjarmasin 'angkat tangan' memohon hujan

Untuk meluapkan rasa suka citanya memenangi perang, Soroh Petang Dasa itu menari-nari dengan tameng dan senjatanya. "Soroh Petang Dasa ini memang terkenal kekebalannya dan tidak mempan senjata apapun," kata Nala yang juga dosen Universitas Udayana itu.

Setelah pulang ke Bali, tari Gebug Ende itu terus dipakai sebagai bentuk keberhasilan menaklukkan Sasak.

"Seiring waktu, tarian ini dipergunakan sebagai latihan perang-perangan dan dilakukan saat masa senggang, pada musim kemarau. Kemudian, muncullah kepercayaan ketika Gebug Ende ini ditarikan pada saat musim panas untuk memohon hujan," ujarnya.

Baca juga: Eks Siklon Tropis Anika pengaruhi hujan lebat di Jawa Timur-NTT

Sementara itu, Ketua Sanggar Seni Tridatu Komang Nisma mengatakan Gebug Ende yang ditampilkan tersebut merupakan Gebug Ende Kreasi.

Nisma menambahkan, untuk prosesi Gebug Ende di Desa Seraya, setiap peserta dalam mencari pasangannya itu secara spontanitas/ Namun, karena yang ditampilkan dalam Jantra Tradisi Bali untuk pementasan, sehingga setiap peserta dengan pasangannya telah disiapkan.

Baca juga: Sejumlah titik di Kuta-Bali terendam banjir

Selain itu juga ditambah dengan penampilan para penari perempuan untuk membawakan prosesi persembahyangan.

Untuk aturan permainan Gebug Ende, kata Nisma, tidak boleh memukul dari bagian pinggang ke bawah, tetapi yang diperbolehkan dari pinggang ke atas.

"Melalui acara ini, kami juga ingin mengenalkan Gebug Ende sebagai permainan sekaligus olahraga tradisional," katanya.

Tak hanya untuk kepentingan memohon hujan, tradisi Gebug Ende juga kerap dipertontonkan saat perayaan HUT Kemerdekaan RI.

Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2022