Solo (ANTARA) - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan tiga tantangan pengembangan investasi berkelanjutan di Pertemuan Kedua Trade, Investment and Industry Working Group (TIIWG) G20/ The Second TIIWG Meeting.

Ketiga tantangan tersebut yaitu ketimpangan aliran investasi hijau antara negara maju dan berkembang, dukungan hilirisasi hingga tren digitalisasi.

"Investasi di bidang energi hijau, masih sangat timpang. Hanya seperlima dari investasi energi hijau yang mengalir ke negara-negara berkembang. Dengan kata lain, dua pertiga dari total populasi dunia, hanya mendapatkan seperlima dari total investasi energi hijau," kata Bahlil saat membuka Pertemuan Kedua TIIWG di Solo, Jawa Tengah, Rabu.

Menurut Bahlil, ketimpangan aliran investasi itu pun sejalan dengan ketimpangan harga karbon kredit antara negara maju dan negara berkembang. Ia menyebut negara berkembang yang memiliki aset karbon justru karbonnya dihargai lebih murah ketimbang negara maju yang tidak punya aset karbon.

"Dalam pandangan saya secara pribadi, tata kelola harga karbon harus diatur sebagaimana mestinya untuk kepentingan, kesejahteraan rakyat, di mana negara-negara yang menghasilkan karbon itu berasal. Negara maju contoh, 100 dolar AS per ton. Sementara negara berkembang penghasil karbon, dinilai tidak lebih 10 dolar AS per ton," ungkapnya.

Bahlil menilai hal itu tidaklah adil di tengah komitmen seluruh dunia untuk menekan emisi.

"Saya tidak ingin ada perlakuan-perlakuan yang tidak adil, sebab persoalan emisi adalah persoalan dunia. Oleh karena itu, dalam pandangan saya, saya menyarankan dalam forum ini, sudah saatnya kita harus berpikir, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, untuk kebaikan rakyat, bangsa negara dan seluruh dunia," katanya.

Lebih lanjut, tantangan kedua investasi berkelanjutan menurut Bahlil, yaitu terkait dukungan hilirisasi yang punya peran untuk bisa mengurangi dampak perubahan iklim.

Mantan Ketua Umum Hipmi itu mengatakan hilirisasi membutuhkan investasi berkelanjutan yang ramah lingkungan dan inklusif. Hilirisasi juga memiliki peran penting untuk mengakhiri siklus ketergantungan negara berkembang terhadap komoditas mentah.

"Saya beri satu contoh, Indonesia diajari oleh global bagaimana mendorong industri yang ramah lingkungan. Di saat bersamaan, Indonesia melakukan secara murni dan sungguh-sungguh, untuk membangun hilirisasi dengan menyetop ekspor ore nikel. Dalam pandangan kami, pengelolaan nikel yang tidak dikelola baik akan berdampak ke lingkungan. Tapi apa yang terjadi? Beberapa negara tidak setuju dengan kebijakan tersebut, bahkan membawa kami ke WTO," jelasnya.

Bahlil pun menegaskan bahwa sudah saatnya semua negara menghargai kebijakan masing-masing negara karena mereka tahu arah kebijakan negaranya masing-masing.

Ada pun tantangan ketiga dalam pengembangan investasi berkelanjutan, lanjut Bahlil, yakni tren digitalisasi.

"Ke depan, kita perlu mengusulkan kebijakan dan insentif investasi agar dapat mengantisipasi tren digitalisasi dari investasi berkelanjutan," ujarnya.

Bahlil mengatakan tantangan yang ada membuat tugas TIIWG tidak mudah. Oleh karena itu, Bahlil pun menyerukan agar terus mempererat kerja sama dan bergotong royong demi mencapai tujuan bersama.

"Sebagai kelompok negara dari 80 persen GDP dunia, kita semua memiliki tanggung jawab agar tata kelola pembangunan dan ekonomi dunia jadi jembatan mencapai tujuan yaitu keadilan dan kemakmuran bersama," pungkasnya.

Baca juga: G20 susun kebijakan pendukung dorong investasi berkelanjutan

Baca juga: Investasi hijau untuk pemuda ciptakan masa depan planet berkelanjutan

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022