Bayi yang baru lahir masih perlu banyak ASI dan perawatan dari ibunya,
Jakarta (ANTARA) - Sejumlah pekerja menyambut baik sekaligus mendukung wacana kebijakan mengenai tambahan cuti lahir bagi ibu pekerja, dari tiga bulan menjadi enam bulan.

“Sebagai perempuan, saya setuju dengan wacana cuti melahirkan enam bulan bagi ibu bekerja, karena demi tumbuh kembang anak sehingga ibu bisa mengetahui perkembangan si anak,” kata Fika Amelia, salah satu pekerja kantoran di ibu kota Jakarta, saat dihubungi Antara dari Jakarta, Rabu.

Namun menurut Fika, yang juga sebagai pelaku usaha, aturan cuti enam bulan bisa pula dinilai cukup memberatkan pengusaha lantaran beban anggaran dan pekerjaan yang akan ditimbulkan.

Pengalaman selama masa pandemi, lanjut Fika, dapat diimplementasikan untuk aturan tersebut seperti tiga bulan cuti lahir dan tiga bulan dengan sistem bekerja dari rumah alias WFH.

Fika berharap pemerintah juga memperhatikan kepentingan pengusaha, selain memperhatikan kebutuhan ibu dan anak.

Pekerja lainnya, Ine Agustiyani, juga menanggapi positif wacana cuti enam bulan, sebab menurutnya hal tersebut berpihak pada perempuan untuk menjaga kesehatan mental pascamelahirkan sekaligus mendukung pemberian ASI eksklusif secara maksimal.

Namun, Ine berpendapat lain mengenai cuti 40 hari bagi suami yang istrinya melahirkan.

“Tidak perlu selama (40 hari). Mungkin bisa diberikan keleluasaan untuk bekerja secara remote, atau proses izin bekerja yg dipermudah selama 40 hari pertama pasca istri melahirkan,” ucap Ine.
Baca juga: Kemenko PMK sambut baik usulan cuti melahirkan enam bulan

Ine mengatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait RUU KIA misalnya, masalah kebijakan upah/gaji selama cuti supaya finansial keluarga tetap stabil selama istri/ibu cuti. Ine mengutarakan harapannya agar RUU KIA dapat diimplementasikan.

Selanjutnya, pekerja bernama Anggit Ridho Handoko, juga menyampaikan dukungan yang sama terhadap RUU KIA.

Menurut Anggit, bayi yang baru dilahirkan masih memerlukan banyak air susu ibu (ASI) dan perawatan dari sang ibu. “Bayi yang baru lahir masih perlu banyak ASI dan perawatan dari ibunya,” kata Anggit.

Ayah dari dua anak itu juga menuturkan bahwa cuti lahir tiga bulan merupakan waktu yang terlalu singkat dan dirinya berharap agar pemerintah memberikan perlindungan kepada pekerja, khususnya pekerja swasta terkait implementasi RUU KIA.

Rapat paripurna DPR RI pada Kamis (30/6) menyetujui RUU KIA menjadi RUU inisiatif DPR. Dalam draf RUU tersebut mengatur mengenai perpanjangan masa cuti bagi ibu yang melahirkan hingga waktu istirahat bagi ibu yang keguguran.

Cuti melahirkan dalam draf RUU KIA diusulkan paling sedikit enam bulan, yaitu diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) huruf a yaitu “Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit enam bulan”.

Selain itu, pada draf RUU KIA juga mengatur terkait cuti bagi para suami yang mendampingi istri melahirkan seperti yang tertuang di Pasal 6, yaitu ayat (1) untuk menjamin pemenuhan hak ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, suami dan/atau keluarga wajib mendampingi.

Ayat (2), suami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak mendapatkan hak cuti pendampingan, yakni terkait dengan istri yang melahirkan, paling lama empat puluh hari; atau keguguran paling lama tujuh hari.

Baca juga: Muslimat NU sambut baik usulan cuti melahirkan enam bulan
Baca juga: Mark Zuckerberg ambil cuti lahir dua bulan dari Facebook

Pewarta: Asri Mayang Sari
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2022