Medan (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo membeberkan sekitar 40 persen lebih penduduk di Indonesia berpotensi tidak produktif untuk menjalankan setiap kegiatan dalam masyarakat.

“Generasi kita yang kurang optimal itu sudah hampir 40 persen lebih sendiri. Makanya yang terbesarnya adalah stunting, sehingga ketika kita bisa menurunkan stunting, maka kita sudah mengurangi faktor-faktor pemberat untuk kualitas sumber daya manusia kita,” kata Hasto saat ditemui ANTARA di Kota Medan, Sumatera Utara, Rabu.

Hasto menekankan bahwa kondisi kependudukan di Indonesia menghadapi banyak ancaman serius yang dapat mengganggu pembentukan generasi bangsa berkualitas unggul.

Berdasarkan data yang dimiliki BKKBN, masalah terbesar yang dihadapi oleh penduduk Indonesia adalah kekerdilan pada anak (stunting) sebesar 24,4 persen, gangguan emosional mental (mental emotional disorder) 9,8 persen, kecanduan NAPZA dan narkotika lima persen, difabel tiga persen dan autisme satu persen.

Baca juga: BKKBN ingatkan calon pengantin berperan penting cegah stunting

Baca juga: Wali Kota: Penurunan angka sunting pacu ciptakan generasi berkualitas


Masalah selanjutnya adalah sejumlah provinsi mulai bertransisi mengalami penuaan penduduk atau ageing population. Dengan 80 persen di antaranya tidak lulus sekolah di tingkat SMP.

“Penuaan penduduk akan hadir di tahun 2035, sudah cukup besar populasi orang-orang tua dan populasinya di tahun 2035, pada umumnya pendidikannya 80 persen tidak lulus SMP sehingga tidak produktif,” kata dia.

Bila semua permasalahan tidak disikapi dengan baik, kata Hasto, maka jumlah generasi muda yang tidak produktif akan meningkat dan menyebabkan negara kesulitan untuk menikmati bonus demografi di tahun 2045 karena penduduk belum sempat merasakan kesejahteraan.

Dengan demikian, seluruh pihak harus memegang teguh budaya gotong royong dalam mengentaskan stunting. Bila berhasil mengentaskan stunting sebagai sumber utama masalah, maka penduduk bangsa bisa menjadi berkualitas tidak hanya secara fisik tetapi juga bisa diinvestasikan secara non-fisiknya (kemampuan diri).

Pemerintah pada tingkat Pusat sudah menjalankan sejumlah upaya yang berpegang teguh pada Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2021 tentang percepatan penurunan stunting serta Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN PASTI).

Di antaranya membuat tim percepatan penurunan stunting (TPPS) dan Satuan Tugas (satgas) stunting yang akan mengawal kesehatan keluarga dan mewajibkan anggaran pemerintah daerah memasukkan rincian dana untuk mengatasi stunting.

Sayangnya di samping upaya itu, BKKBN menemukan bahwa pemberian bantuan makanan bagi ibu hamil dan makanan pendamping bayi di beberapa daerah dari pemerintah belum sampai ke tangan keluarga yang membutuhkan.

“Tapi satu yang perlu kita ingat, adakah makanan yang kita sampaikan pada ibu dan bayi? Yang sudah sampai ke dalam mulut mereka? Saya menemui beberapa belum sampai,” ucap dia.

Hasto meminta pada semua pemerintah daerah untuk memeriksa permasalahan itu kepada dinas-dinas kesehatan untuk memastikan bahwa pemberian makanan bergizi seperti biskuit terfortivikasi telah sampai kepada keluarga yang berisiko tinggi terkena stunting.

“Yang paling akhir serapan DAK BOKB di kabupaten/kota masih sangat rendah. Kami mohon dipercepat penyerapan anggaran dari BKKBN di dinas KB, itu biasanya bukan dalam bentuk fisik umumnya non-fisik dan ini menyentuh langsung pada keluarga,” ujar dia.*

Baca juga: BKKBN turunkan 798 pendamping keluarga cegah stunting di Pangkep

Baca juga: Harganas 2022 momentum tingkatkan layanan KB pasca-persalinan


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022