Jakarta (ANTARA) - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan Bank Indonesia (BI) perlu menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin atau menjadi 4 persen untuk menekan laju aliran modal keluar.

"Kecepatan capital outflow menentukan. Investor memandang (suku bunga) tidak cukup menarik karena The Fed naiknya cukup tinggi, kita nggak ada respon," kata Tauhid saat dihubungi oleh Antara di Jakarta, Jumat.

Executive Director INDEF ini mengatakan langkah kenaikan suku bunga itu juga perlu dilakukan pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 20-21 Juli 2022 untuk menekan laju inflasi yang sudah mencapai 4,35 persen (yoy) pada Juni 2022.

Menurut dia, kebijakan bank sentral dalam merumuskan instrumen moneter dengan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) masih belum mampu menekan laju inflasi.

Selain itu, kenaikan suku bunga acuan juga bisa menekan depresiasi rupiah yang angka psikologisnya sudah mencapai Rp15.000 per dolar AS. Pergerakan rupiah ini sudah di atas 8 hingga 9 persen dari asumsi APBN 2022.

"Otomatis (untuk) kembali ke titik normalnya (nilai tukar rupiah) harus punya daya tarik melalui suku bunga BI-nya," ujar Tauhid.

Tauhid menambahkan pengetatan likuiditas dari sisi suku bunga harus lebih gencar agar tidak terjadi over keeping yang bisa mencegah terjadinya konsumsi.

Oleh karena itu, ia mengatakan kenaikan 50 basis poin pada Juli nanti adalah start poin yang paling tepat. Kemudian BI bisa melakukannya secara bertahap hingga akhir tahun 2022.

"Agar cepat merespon capital outflow dan juga nilai tukar dan inflasi," kata Tauhid.

Tauhid pun memperkirakan, jika dilihat dari tradisi, BI akan menaikkan suku bunga maksimal dua kali hingga akhir tahun 2022. Hal ini bergantung juga dengan kenaikan suku bunga oleh The Fed.

Dari sisi fiskal, pemerintah bisa memberikan dukungan melalui optimalisasi kebijakan fiskal seperti skema subsidi atau bantuan sosial untuk meredam dampak kenaikan suku bunga.

Dengan demikian, menurut dia, konsumsi masyarakat tidak akan terlalu jatuh dan tidak mempengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi, meski nantinya likuiditas semakin ketat.

"Agar cost yang ditanggung masyarakat dari sisi bansos maupun subsidi BBM bisa berkurang," kata Tauhid.

Hingga saat ini, BI memutuskan masih mempertahankan BI7DRR sebesar 3,5 persen, meski beberapa bank sentral negara lain telah melakukan penyesuaian suku bunga. Suku bunga 3,5 persen ini telah bertahan selama 15 bulan atau sejak Maret 2021.

Baca juga: Sri Mulyani: Modal asing keluar RI capai 1,3 miliar dolar AS

Baca juga: Sri Mulyani: Pemerintah waspadai dampak "capital outflow"

Pewarta: Satyagraha/Muhammad Heriyanto
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022