Jakarta (ANTARA) - Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menekankan pedofil sering menyasar anak-anak yang belum memahami penggunaan media sosial untuk melakukan aksi kejahatan seksual.

“Ini sangat mengkhawatirkan karena ternyata para pedofil atau para pelaku kejahatan seksual daring (online). Mereka menyasar anak-anak yang belum paham tentang media sosial,” kata Ketua Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Anak IDAI Eva Devita Harmoniati dalam Seminar Awam Cegah Kekerasan Seksual Pada Anak yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.

Eva menuturkan banyak anak-anak pada masa kini belum memahami batasan-batasan dalam mengakses informasi yang tersebar di dunia internet.

Beberapa lainnya justru rutin atau gemar mengunggah foto-foto pribadi mereka tanpa menyadari dampak yang akan ditimbulkan sehingga anak menjadi salah satu kelompok yang sangat rentan terhadap kejahatan seksual.

Baca juga: IDAI: Bentuk kejahatan seksual kepada anak tak hanya pemerkosaan

Baca juga: IDAI: Jangan sepelekan perubahan sifat anak cegah kekerasan seksual


Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI) milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), anak yang jadi korban kekerasan seksual pada tahun 2019 ada 6.454 anak, naik jadi 8.730 anak pada tahun 2022.

Pedofil itu sendiri, kata Eva, pada awalnya berusaha mendekati anak dengan bersikap seperti teman yang memberikan bermacam-macam hadiah. Tak jarang mereka menghubungi anak melalui aplikasi pesan seperti grup dalam Whatsapp.

Momen itu kemudian dimanfaatkan pelaku untuk mengancam anak-anak, dengan imbalan meminta dikirimkan gambar atau video yang tidak senonoh. Sehingga Eva menekankan setiap anak butuh pengawalan penuh baik dari pemerintah maupun masyarakat.

Guna melindungi anak dari kekerasan seksual secara online, utamanya dalam masa pandemi COVID-19 yang menuntut anak lebih banyak berinteraksi dengan media sosial, Eva menyarankan orang tua untuk mengevaluasi aturan pemakaian internet dan menyiapkan perangkat keamanan untuk semua gawai yang dimiliki anak.

“Jangan sampai, anak menggunakannya secara bebas tanpa adanya aplikasi pengaman di dalam perangkat-perangkat elektronik yang bisa mengaksesnya. Buat setting pengawasan orang tua pada semua alat yang bisa diakses di internet, dengan mengaktifkan age appropriate filters dan monitoring tools,” ujar dia.

Eva melanjutkan sangat penting bagi orang tua untuk mengajarkan anaknya mengenali dan menghindari berbagi informasi pribadi di internet. Berikan pemahaman pada anak untuk menghindari komunikasi dengan orang yang tak dikenal.

“Kita ajarkan kepada anak apa yang boleh diunggah (upload) dan apa yang tidak boleh. Ada hal-hal yang harus dibatasi untuk orang-orang yang baru kita kenal apalagi di dunia maya,” ucap dia.

Kemudian orang tua diminta untuk membuat sebuah kesepakatan aturan penggunaan internet agar anak dapat terawasi, sekaligus membangun kepercayaan dan mengajarkan anak untuk bisa bertanggung jawab.

Terakhir, bagi orang tua yang menemukan atau mencurigai terjadinya kejahatan seksual pada anak, disarankan untuk menghubungi langsung pihak terkait seperti KemenPPPA melalui call center SAPA 129 atau Kepolisian RI Subdit Kekerasan Perempuan dan Anak di 110.

“Jangan lupa kita juga perlu menangani dampak psikologis dan juga dampak fisik yang di derita anak-anak kita, baik kepada dokter anak maupun psikolog,” kata Eva.*

Baca juga: IDAI: Ancaman anak jadi korban konten negatif lebih besar di saat PJJ

Baca juga: Korban kekerasan seksual anak berpotensi alami trauma mendalam


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022